Setjen News

Judul Berita
Inosentius Samsul: Kebijakan Publik Harus Berdasarkan ‘Evidence Based’

[Kepala BK Setjen DPR RI Inosentius Samsul saat mengikuti acara Seminar Nasional (Semnas) di Solo, Jawa Tengah, Selasa (30/5/2023). Foto: Arief/nr]

 

Kepala Badan Keahlian (BK) Sekretariat Jenderal DPR RI Inosentius Samsul mengatakan dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) harus melibatkan partisipasi publik, khususnya kepada para pemangku kepentingan, termasuk perguruan tinggi. Karena itu, kebijakan publik yang baik dan berkualitas harus didasarkan pada riset atau evidence based.

 

"Evidence based ini intinya adalah bahwa setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada argumentasi-argumentasi akademis maupun empiris yang itu tentunya banyak kita temukan di perguruan tinggi ataupun langsung ke masyarakat. Ini satu kerangka berpikir,” jelas pria yang kerap disapa Sensi itu kepada Parlementaria pada acara Seminar Nasional (Semnas)  yang diselenggarakan oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (Puspanlak UU) Badan Keahlian (BK) Setjen DPR RI di Solo, Jawa Tengah, Selasa (30/5/2023).

 

Sensi juga menegaskan dalam pembentukan RUU, acuan dasar lainnya yang juga harus diperhatikan adalah berkaitan dengan asas Meaningful Public Participation. "Meaningful public participation adalah bagian dari proses penyusunan undang-undang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022. Di mana dalam pembuatan peraturan, itu penting melibatkan masyarakat secara bermakna,” tegas Sensi.

 

Selanjutnya, Sensi juga menerangkan asas Meaningful Public Participation memiliki tiga tolak ukur. Yaitu, pertama, right to be heard atau hak untuk didengar dan diinformasikan bahwa ada sesuatu yang sedang berproses di DPR, sehingga masyarakat mengetahui; Kedua, right to be considered, atau hak untuk dipertimbangkan.

 

Sehingga, tegasnya, jika ada masukan-masukan dari masyarakat, lalu kemudian ditolak oleh DPR atau Panitia Kerja (Panja) ataupun Panitia Khusus (Pansus) itu dibahas menjadi masukan dari masyarakat dapat dipertimbangkan. Tidak harus diadopsi menjadi norma, tetapi dibahas dan ditimbang-timbang cocok atau tidak; Ketiga, right to be explained, atau hak untuk dijelaskan. Sehingga, publik tahu alasan jika ada masukan yang diterima ataupun tidak diterima.

 

“Jadi, inilah yang disebut dengan meaningful public participation. Sehingga saya kira semua yang terlibat terutama di DPR, termasuk Badan Keahlian, itu harus terbiasa dengan kerangka berpikir seperti itu,” tutup Sensi. (afr/rdn)

Puspanlak UU BK Setjen DPR RI Selenggarakan Seminar Nasional Sisdiknas

[Kepala Puspanlak UU, Tanti Sumartini saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional di Solo, Jawa Tengah, Selasa (30/5/2023). Foto: Arief/nr]

 

Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (Puspanlak UU) Badan Keahlian (BK) Sekretariat Jenderal DPR RI menyelenggarakan Seminar Nasional (Semnas) terkait penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia. Semnas tersebut bertema "Penguatan Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional melalui Evaluasi dan Perbaikan Pengaturan dalam Peraturan Perundang-Undangan dalam Sektor Pendidikan".

 

Dalam kesempatan tersebut, Kepala Puspanlak UU, Tanti Sumartini, menjelaskan bahwa seminar tersebut bertujuan untuk mendapatkan informasi secara lebih komprehensif. Sehingga, dapat melengkapi kajian-kajian yang sudah dilakukan di beberapa regulasi tentang pendidikan.

 

"Setelah seminar ini kita akan membuat policy bried dan proceeding. Nah, di dalam policy brief itu nanti, arah masukannya ini ke mana sih? Nanti itu kita sampaikan kepada Komisi X DPR RI. Tadi Ibu Hetifah (Wakil Ketua Komisi X DPR RI) sudah menunggu hasil dari seminar ini untuk melengkapi yang sudah ada di Komisi X DPR RI,”  terang Tanti kepada Parlementaria di sela-sela penyelenggaraan Semnas di Solo, Jawa Tengah, Selasa (30/5/2023).

 

Tanti menjelaskan sebagai Kepala Puspanlak UU, dirinya memiliki kewajiban untuk melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas SDM yang ada di internal institusinya tersebut. Yaitu, dengan cara memberikan mereka wawasan yang lebih luas. Sehingga, dirinya meyakini dengan melibatkan akademisi yang ada di Universitas Negeri Surakarta dalam Semnas tersebut akan mendapatkan masukan berbobot.

 

"Nah, dari merekalah kita harapkan ada masukan-masukan khusus untuk arah kebijakan penyusunan atau perubahan Undang-Undang pendidikan nasional,” jelas Tanti.

 

Menurutnya, berdasarkan yang disampaikan oleh Hetifah Sjaifudian, revisi UU Sisdiknas akan mengarah ke omnibus law. Sehingga, perlu mendengar masukan dari Akademisi UNS seperti apa terkait revisi UU ini.

 

"Ini semua nanti akan menjadi satu muara ke arah perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sekarang berada di tangan pemerintah. Artinya pemerintah yang akan membuat rancangan undang-undangnya yang nantinya dibahas di DPR, di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI,” tutup Tanti. (afr/rdn)

BK DPR Tandatangani MoU dengan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

[Kepala Pusat Perancangan Undang - Undang BK Setjen DPR RI, Lidya Suryani Widayati usai menandatangani nota kesepahaman antara BK-DPR RI dengan Universitas Ahmad Dahlan. Foto: Anne/nr]

 

Badan Keahlian (BK) DPR RI menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara BK-DPR RI dengan Universitas Ahmad Dahlan. Penandatanganan berlangsung di Kampus 4 Universitas Ahmad Dahlan, Bantul, Yogyakarta, Jumat (26/5/2023).

 

Kepala Pusat Perancangan Undang - Undang Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI, Lidya Suryani Widayati menuturkan, saat ini sudah 60 MoU yang dikerjasamakan Badan Keahlian dengan berbagai universitas sebagai bentuk komitmen badan untuk mewjudkan partisipasi publik dalam proses pembentukan legislasi.

 

"MoU ini merupakan bagian untuk mewujudkan minimum participation legislation terutama dari kalangan perguruan tinggi. Hal ini juga sejalan dengan tagline Badan Keahlian ‘Bridging The Reasearch To The Role and Function of Parliament and Evidence Based Legislative Policy Making’,  ungkap Lidya usai kegiatan penandatangan Mou bersama Rektor Universitas Ahmad Dahlan Dr. Muchlas, M.T.

 

Adapun, kerja sama yang diwujudkan antara lain berupa penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, penelitian, riset, kajian, kegiatan ilmiah, seminar, hingga lokakarya. 

 

"Jadi, bagaimana MoU ini mewujudkan atau menjembatani antara keputusan politik di bidang legislasi dengan kebutuhan akan kajian-kajian ilmiah yang diberikan perguruan tinggi. Tujuannya, untuk meningkatkan kualitas legislasi yang lebih baik lagi," jelasnya.

 

Dalam kesempatan itu, Badan Keahlian juga menggelar Focus Group Discussion (FGD) tentang Urgensi Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perbukuan. FGD ini merupakan bagian dalam memberikan masukan dan perbaikan dalam sistem perbukuan. 

 

Kegiatan FGD tersebut menghadirkan narasumber antara lain Direktur Pusat Kajian Sejarah dan Pembangunan Hukum FH Universitas Ahmad Dahlan Ilham Yuli Isdiyanto dan Ketua Ikatan Penerbit Indonesia / IKAPI Daerah Istimewa Yogyakarta, Wawan Arif Rahmat.

 

Lidya menjelaskan, selama 6 (enam) tahun setelah berlakunya UU tentang Sistem Perbukuan masih terdapat beberapa permasalahan, antara lain berkaitan dengan, minimnya keuntungan yang diperoleh bagi penulis,  pajak penulis yang relatif tinggi, masih maraknya pembajakan buku, dan tingkat literasi siswa Indonesia masih rendah, di bawah rata-rata negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi/Organization for Economic Coorperation and Development (OECD). 

 

Termasuk, permasalahan transformasi buku fisik ke digital adalah konten yang mudah dialihmediakan, diubah, dan diganti sehingga praktik ilegal banyak terjadi.

 

"Sebenarnya RUU Perbukuan ini merupakan long list 2020 - 2024 dan ini merupakan perdana kita mencari masukan dari perguruan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan ini. Ke depan, kita tentunya akan melakukan tahapan selanjutnya pengumpulan data uji konsep dan sebagainya dan kemudian akan diteruskan ke alat kelengkapan dewan," imbuh Lidya.

 

Dirinya berharap, FGD tersebut memberikan sumbangsih pemikiran dari beragam sudut pandang dalam rangka penyempurnaan RUU perubahan atas Undang-Undamg Sistem Perbukuan. (ann/rdn)

Perancang Peraturan Perundang-Undangan Harus Perhatikan Ketentuan Dalam KUHP Baru

[Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani saat menyampaikan pidato sebelum membuka Seminar Nasional di Jakarta (17/5/2023). Foto: Prima/nr]

 

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menyampaikan saat ini DPR RI sedang masa transisi dalam menyongsong Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang pada bulan Januari 2023 telah disahkan. Ia juga memaparkan berbagai langkah dalam hal menyukseskan penerapan KUHP baru ini.

 

"Saat ini kita memasuki masa transisi selama 3 (tiga) tahun sebelum akhirnya nanti akan mulai diberlakukan secara nasional," ujar Arsul saat membuka Seminar Nasional 'Kebijakan Perumusan Tindak Pidana dan Sanksi Pidana dalam Peraturan Perundang-Indangan Pasca Pengundangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana' di Jakarta (17/5/2023). 

 

Menurutnya dalam masa transisi ini terdapat banyak pekerjaan atau langkah-langkah yang perlu diambil oleh pemerintah, termasuk juga DPR RI dalam menyongsong pemberlakuan KUHP baru tersebut. Diantaranya yaitu melakukan sosialisasi secara luas kepada seluruh masyarakat Indonesia.

 

"Termasuk mempersiapkan aparat penegak hukum kita, agar dapat mengimplementasikan kebijakan hukum pidana yang baru ini, serta menyusun aturan-aturan pelaksanaan yang diperlukan agar penerapan KUHP baru dapat berjalan dengan lancar," imbuh Politisi Fraksi PPP ini. 

 

Legislator Dapil Jateng X tersebut menambahkan pentingnya peran dari Perancang Perundang-Undangan untuk memperhatikan ketentuan dalam KUHP baru. "Peran para Perancang Peraturan Perundang-Undangan sangat penting untuk terlebih dahulu memahami politik hukum yang menentukan suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana, setelah itu diikuti dengan perumusan tindak pidana dalam sebuah norma yang dapat diterapkan, agar tidak terjadi multitafsir," ungkapnya. 

 

Kedepan diharapkan seluruh proses perumusan dan perancangan sebuah RUU dapat selalu memperhatikan ketentuan KUHP baru. "Sehingga diharapkan kedepan dalam merumuskan tindak pidana apabila membahas sebuah RUU yang memuat ketentuan pidana, maka perancang peraturan perundang-undangan harus memperhatikan ketentuan dalam KUHP baru," pungkasnya. (pdt/aha)

Sampaikan Petitum di Sidang MK, DPR Nilai Perkara Pengujian Perppu Cipta Kerja Tidak Relevan

[Anggota DPR RI Supriansa selaku pemberi keterangan mewakili tim kuasa hukum DPR RI saat  menyampaikan pandangan dalam Sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: Puntho/nr]

 

Mahkamah Konstitusi (MK), yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman, kembali menggelar sidang kelima atas permohonan Nomor 5/PUU-XXI/2023 dan Nomor 6/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada hari Senin (27/3/2023). Merespon hal itu, DPR RI dalam petitumnya berpandangan bahwa permohonan tersebut tidak relevan karena telah kehilangan objek pengujiannya.
 

“Dikarenakan 21 Maret 2023 Perppu Nomor 2 Tahun 2022 sudah disetujui oleh DPR RI menjadi Undang-Undang, maka sudah seharusnya permohonan a quo menjadi tidak relevan untuk dilanjutkan karena telah kehilangan objek pengujian. Dan seyogyanya MK tidak melanjutkan permohonan pengujian a quo, ini petitum DPR RI ” ujar Anggota DPR RI Supriansa selaku pemberi keterangan mewakili tim kuasa hukum DPR RI.
 

Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut, tuturnya, DPR RI memohon agar sekiranya Ketua Majelis MK memberikan berbagai amar putusan di antaranya sebagai berikut. Pertama, menyatakan bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing, sehingga permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima, menolak permohonan a quo dalam pengujian formil untuk seluruhnya dan menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan.
 

Selanjutnya, DPR RI menyatakan bahwa proses pembentukan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja atau dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841) telah memenuhi pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
 

Serta, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 6398). Lebih lanjut, DPR RI menyatakan bahwa proses pembentukan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841) tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
 

“Memerintahkan pembuatan amar putusan ini dalam berita negara sebagaimana mestinya dan apabila Yang Mulia Ketua Majelis MK berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono. Demikian keterangan tertulis dari DPR RI disampaikan sebagai bahan pertimbangan bagi Yang Mulia Ketua Majelis MK untuk mengambil keputusan,” pungkas Legislator Fraksi Partai Golkar tersebut mengakhiri pandangan DPR RI.
 

Sebagaimana diketahui, sehubungan dengan adanya surat dari MK Nomor dengan nomor 264.6/PUU/PAN.MK/PS/03/2023 tertanggal 14 Maret 2023 perihal kepada DPR RI untuk menghadiri dan menyampaikan keterangan di persidangan MK terkait dengan permohonan pengujian formil Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja terhadap UUD NRI 1945 khususnya berkaitan Perkara Nomor 5/2023 Perppu Ciptaker yang diajukan oleh Dr. Hasrul Buamona, S.H.,M.H Dosen Hukum Kesehatan (Pemohon I), Siti Badriyah (Pengurus Migrant Care/Pemohon II), Harseto Setyadi Rajah (Konsultan Hukum/Pemohon III), Jati Puji Santoro (Wiraswasta/Pemohon IV).
 

Lalu Syaloom Mega G. Matitaputty (Mahasiswa FH Usahid/Pemohon V), Ananda Luthfia Rahmadhani (Mahasiswa FH Usahid/Pemohon VI), Dr. Wendra Yunaldi, S.H.,M.H, Dosen Muhammad Saleh, S.H., M.H. (Dosen/Peneliti), Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) diwakili oleh Ketua Umum DPP FSPS Deni Sunarya dan Muhammad Hafidz (Sekretaris Umum DPP FSPS) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H, M.H dan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak SH MH (Advokat dan Konsultan Hukum) untuk selanjutnya disebut sebagai para pemohon Perkara 5.

 

Berikutnya, perkara Nomor 6/PUU/2023 yang diajukan oleh Konfederasi Serikat Guru Seluruh Indonesia yang disingkat KSBSI yang diwakili oleh Presiden Dewan Eksekutif Nasional KSBSI Elly Rosita Silaban dan Sekretaris Jenderal Dewan Eksekutif Nasional KSBSI Dedi Hardianto yang memberikan kuasa kepada Haris Manalu, S.H. dan advokat yang berkantor Lembaga Bantuan Hukum Konfederasi Serikat Guru Seluruh Indonesia atau LBH KSBSI untuk selanjutnya disebut para pemohon Perkara 6 selanjutnya secara bersama-sama disebut para pemohon. (pun/rdn)

Badan Keahlian DPR Sosialisasikan RUU Penyesuaian Dasar Hukum Bagi 254 Kabupaten dan Kota

[Kepala BK Setjen DPR RI Inosentius Samsul saat melakukan sosialisasi penyusunan naskah akademik dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang penyesuaian dasar hukum pembentukan Kabupaten/Kota di Indonesia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/3/2023). Foto: Arief/Man]

 

Badan Keahlian (BK) Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR bersama Pimpinan Komisi II DPR RI melakukan sosialisasi penyusunan naskah akademik dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang penyesuaian dasar hukum pembentukan Kabupaten/Kota di Indonesia.

 

Kepala BK Setjen DPR RI Inosentius Samsul mengatakan, dari hasil penelusuran yang dilakukan Komisi II dan Badan Keahlian, ada 20 Provinsi dan 254 Kabupaten/Kota yang perlu dilakukan pembaruan terhadap dasar hukum pembentukannya.

 

"Ruang lingkup penyesuaian UU ini pembentukan daerah hanya terbatas pada 3 aspek, yaitu landasan hukum, kewilayahan, dan karakteristik daerah," ujar Sensi, sapaan akrab Inosentius di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/3/2023).

 

Sensi menjelaskan urgensi pembaruan landasan hukum ini mengingat sebagian besar provinsi dan kabupaten/kota dibuat pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan masih berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara. Karenanya, RUU ini akan memberikan penegasan landasan hukum dengan berpedoman pada UUD Tahun 1945.

 

Menurutnya, RUU tentang Kabupaten/Kota yang akan disusun ini berbeda dengan Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonomi Baru, karena dalam Undang-Undang tentang Kabupaten/Kota ini hanya akan mengatur tentang pembaruan/penyesuaian dasar hukum pembentukan, penegasan cakupan wilayah meliputi kedudukan ibukota provinsi dan batas wilayah, serta ke-khasan karakteristik masing-masing daerah, seperti ciri geografis dan potensi sumber daya alam.

 

DPR, lanjut Sensi, berpandangan bahwa setiap daerah memiliki kondisi dan karakteristik yang berbeda, serta memiliki kekhasan masing-masing yang harus ditonjolkan agar dapat dikelola dengan baik sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang mengakomodasi potensi dan karakteristik daerah. "Sehingga masing-masing daerah dapat menentukan arah pembangunan daerahnya, karena ini kan benar-benar disesuaikan karakteristiknya," imbuh Sensi. (ann/aha)

BK DPR Dukung Perkuat RUU Perlindungan Konsumen

[Kepala Badan Keahlian DPR RI Inosentius Samsul saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR RI dengan BK DPR RI di Gedung Nusantara I, Jakarta, Senayan, Rabu (15/3/2023). Foto: Mu/Man]

 

Badan Keahlian (BK) DPR RI mendukung penguatan perlindungan konsumen dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Konsumen. Dukungan ini menjadi vital lantaran dinilai dapat memberikan kepastian sekaligus rasa aman bagi masyarakat Indonesia selaku konsumen, melalui penambahan konsep strict lialibility, baik secara pidana maupun perdata.

 

Demikian pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Badan Keahlian DPR RI Inosentius Samsul kepada Parlementaria usai mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR RI dengan BK DPR RI di Gedung Nusantara I, Jakarta, Senayan, Rabu (15/3/2023). Menurutnya, konsep strict liability bisa diimplementasikan jika turut menguatkan indepedensi lembaga Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).

 

"Sangat perlu ya. Sejak tahun 1999. DPR sebenarnya, setahu saya, ingin (BPKN) menjadi lembaga independen yang tidak sekadar memberikan masukan saja (atau) rekomendasi kepada pemerintah tapi BPKN juga bisa melakukan tindakan sebagai eksekutor untuk kebijakan primer konsumen," ucap Sensi, sapaan akrabnya.

 

Berdasarkan kajian yang sudah dilakukan oleh BK DPR RI, ucap Sensi, baik Filipina, Singapura, dan Malaysia telah memasukan konsep strict liability dalam kebijakan untuk melindungi konsumen negaranya. "Masa kita aja nggak. Padahal konsumen kita ada 271 juta (orang). Jadi, harus kita lindungi (konsumen) supaya jangan menjadi korban dari produk-produk yang berkualitas rendah atau praktik perdagangan yang tidak fair," lugasnya.

 

Rencananya, BK DPR RI akan menyempurnakan naskah akademik berdasarkan masukan dari para Pimpinan dan Anggota Komisi VI DPR RI. Hal ini menjadi penting agar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang kini sudah berusia 23 tahun bisa tergantikan dengan undang-undang yang lebih komprehensif. Sehingga, harapannya, mampu menyelesaikan permasalahan kompleks.

 

"Ke depan itu diharapkan konsumen bisa memperjuangkan hak-haknya. Banyak itu yang harus kita sempurnakan karena penting. Jadi memang banyak hal yang harus dibenahi," tutup Sensi. (ts,gam/rdn)

Perkuat Perumusan Kebijakan Publik, BK DPR Perpanjang MoU dengan Unwira

[Kepala Badan Keahlian DPR RI Inosentius Samsul usai melakukan penandatanganan MoU dengan Universitas Widya Mandira bersama Rektor Unwira Kupang Philipus Tule di Gedung Unwira, Kupang, NTT. Foto: Munchen/nr]
 

Kepala Badan Keahlian (BK) DPR RI Inosentius Samsul melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan Universitas Widya Mandira (Unwira) dalam rangka memperpanjang kerjasama antara kedua belah pihak yang telah dilakukan sejak tahun 2017. 

 

"Jadi, 5 tahun lalu kita sudah mulai lalu kemudian ini kelanjutannya ya. Karena MoU berlaku 5 tahun dan ada beberapa kegiatan yang sudah dilakukan bersama. Tapi karena Covid kemarin, banyak kegiatan yang tidak terealisasi," ucap Inosentius Samsul yang disapa akrab Sensi, usai penandatanganan MoU di Unwira, Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa (28/2/2023).

 

Masa pandemi menjadi kendala bagi setiap masyarakat dalam melakukan berbagai kegiatan. Hal ini juga berdampak bagi BK DPR RI bersama Unwira, sehingga dalam pengerjaan peningkatan kualitas produk yang dihasilkan oleh DPR dan Pemerintah menjadi terhambat. "Situasi pandemi kemarin, tidak terlalu kondusif untuk kita (BK DPR RI dan Unwira) bisa melakukan banyak kegiatan. Mudah-mudahan kita bisa lebih aktif lagi, agar banyak hal yang bisa kita kerjakan untuk peningkatan kualitas produk yang dihasilkan oleh DPR dan Pemerintah," ucapnya. 

 

Menurut Sensi, kerja sama yang kuat antara akademisi dengan pengambil keputusan kebijakan diperlukan dalam membuat perumusan kebijakan publik. "Dalam perumusan kebijakan publik, memang harus berkolaborsi yang cukup baik antara akademisi dengan pengambil keputusan kebijakan. Banyak cara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan kebijakan yang berpengaruh terhadap publik. Bisa melalui media, seminar dan sebagainya," jelasnya.

 

Sensi berharap melalui MoU ini, keterlibatan Unwira dapat memberikan sudut pandang yang lain dari kawasan timur Indonesia. "Saya berharap Unwira bisa membawa pikiran-pikiran dari kawasan timur Indonesia. Kalau kita bicara sumber daya di Jakarta soal praktisnya kita tinggal telpon saja. Tapi bukan itu sebenarnya, kita perlu mendapatkan perspektif yang lain dari kawasan barat, tengah dan timur," tutup Sensi. (mun/aha)

Legislator Urai Tantangan dalam Pembangunan Sistem Kesehatan di Indonesia

[Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani (kanan) saat mengisi Seminar Nasional Puspanlak UU Badan Keahlian Setjen DPR RI secara virtual di Serpong, Tangerang Selatan, Selasa (28/02/2023). Foto: Prima/nr]

 

Kesehatan merupakan hak setiap Warga Negara Indonesia (WNI). Hal tersebut sesuai dengan pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan "setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan."
 

Meski demikian, Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menilai masih terdapat sejumlah tantangan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Di antaranya, yaitu sistem keamanan dan ketahanan kesehatan, serta sistem kesehatan yang belum mampu merespon permasalahan kronis pembangunan kesehatan. 

 

"Kondisi pembangunan kesehatan saat ini perlu menjadi perhatian bersama, terlebih sejumlah masalah kesehatan masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) kita bersama, seperti masalah gizi (stunting), malaria, Demam Berdarah (DBD), diabetes melitus, dan kasus penyakit degeneratif lainnya, serta kematian yang diakibatkannya," jelas Netty dalam Seminar Nasional Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (Puspanlak UU) Badan Keahlian Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI di Serpong, Tangerang Selatan, Selasa (28/02/2023). 

 

Netty memaparkan, bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan saat ini, masih belum mampu menjawab kompleksitas penyelenggaraan dan pembiayaan layanan kesehatan yang bergantung pada teknologi kesehatan yang makin mahal dan rumit. "Seperti anggaran Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) masih banyak yang tidak memadai, padahal Puskesmas memiliki tugas dan fungsi untuk memberikan pelayanan kesehatan yang optimal pada masyarakat," papar Netty. 

 

Selain itu, masalah obat dan alat kesehatan yang tidak mencukupi, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan, dan Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga kesehatan yang tidak memadai, juga turut disoroti oleh Netty sebagai masalah yang harus diperbaiki oleh pemerintah guna meningkatkan layanan primer di sektor kesehatan. Tidak hanya itu, Netty juga mendorong pemerintah untuk memperhatikan beban biaya yang digunakan untuk layanan kesehatan masyarakat, mengingat biaya-biaya kesehatan terus meningkat. Kemandirian memproduksi Alat Kesehatan (Alkes) dan obat dari dalam negeri juga cenderung masih lambat. Di sisi lain, kebutuhan obat juga masih bergantung pada impor, sehingga berimplikasi pada neraca perdagangan.

 

"Beban biaya kesehatan saat ini menjadi berganda dengan tambahan jumlah penduduk yang kurang mampu yang perlu mendapatkan pelayanan kesehatan, serta alkes dan obat-obatan kita yang masih tergantung pada impor," jelas Netty. 

 

Politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menambahkan, porsi pengeluaran terbesar dalam biaya kesehatan masih bersifat kuratif. Padahal, lanjutnya, masih banyak masalah kesehatan yang terjadi karena minimnya aspek promosi dan preventif. 

 

"Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan standar kualitas pelayanan melalui regulasi dan kebijakan sehingga bisa mewujudkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang optimal," ujar Netty. 

 

Diketahui, penyusunan RUU tentang Sistem Kesehatan ini turut memperhatikan sembilan undang-undang eksisting terkait kesehatan yang ada, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular; Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan; Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan; dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan. Netty menegaskan bahwa seiring dengan permasalahan kesehatan yang cenderung berubah, transformasi dalam sistem kesehatan juga perlu disesuaikan untuk menjawab tantangan perubahan yang ada tersebut. 

 

"Masalah kesehatan merupakan masalah bersama. Pembangunan harus berwawasan pada ketahanan kesehatan. Terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa harus dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya," tutup Netty. (ica/rdn)

Badan Keahlian DPR RI Dukung Pembahasan RUU Kesehatan

[Kepala Badan Keahlian (BK) Sekretariat Jenderal DPR RI, Inosentius Samsul dalam Seminar Nasional Penguatan Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Kesehatan Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan pada Sektor Kesehatan, di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Senin (27/02/2023). Foto: Prima/Man]

 

Kepala Badan Keahlian (BK) Sekretariat Jenderal DPR RI, Inosentius Samsul, mengajak seluruh pihak untuk memahami model pelayanan kesehatan melalui regulasi. Kepala BK yang akrab disapa Sensi itu, juga mengatakan bahwa BK DPR RI siap mendampingi untuk menyelesaikan pembahasan RUU terkait kesehatan yang memiliki model Omnibus Law tersebut. Sensi menegaskan bahwa sistem kesehatan baru sifatnya akan cenderung preventif dibanding kuratif.

 

"Bagaimana kita menciptakan sistem kesehatan baru. Berdasarkan evaluasi dan penguatan sistem kesehatan, maka hal tersebut dapat menjadi isu-isu besar, utamanya dalam menyelenggarakan regulasi terkait kesehatan. Kalau RUU Kesehatan ini bisa selesai, maka kita bisa mengubah sistem kesehatan, dari yang cenderung kuratif menjadi preventif," jelas Sensi dalam Seminar Nasional Penguatan Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Kesehatan Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan pada Sektor Kesehatan, di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Senin (27/2/2023). 

 

Sensi berharap, ke depannya RUU tentang Sistem Kesehatan ini dapat mengakomodir enam pilar transformasi kesehatan yaitu, transformasi layanan primer, layanan rujukan, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan, SDM kesehatan, dan teknologi kesehatan. "Tentunya, praktik atau sistem yang sudah dilakukan selama ini mungkin telah menimbulkan kenyamanan bagi masyarakat, namun dengan adanya perubahan-perubahan sistem dan kinerja nantinya diharapkan sistem kesehatan bisa terus lebih baik," ucap Sensi. 

 

Dalam perubahan sistem kesehatan nantinya, Sensi mencontohkan, orientasi sistem kesehatan nantinya akan lebih bersifat preventif dibanding kuratif. Oleh karena itu, pentingnya alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tepat untuk pelayanan kesehatan dasar, seperti di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). "Selama ini, termasuk alokasi APBN, cenderung lebih kepada upaya kuratif, padahal ke depannya bisa jauh lebih efektif dan murah apabila diorientasikan pada upaya-upaya preventif supaya orang berupaya pada hidup sehat," papar Sensi. 

 

Sensi mengatakan, ke depannya setelah Presiden Republik Indonesia mengirimkan Surat Presiden (Surpres) beserta Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), BK akan mempelajari DIM tersebut lebih lanjut. "BK akan mempelajari dan meriviu DIM dari pemerintah, dan akan memberikan masukan dari sisi DPR, sebab RUU Kesehatan ini merupakan usul inisiatif DPR," tegas Sensi. 

 

Selanjutnya, apabila sudah mendekati tahap pembahasan, Sensi mengatakan, BK akan memperdalam kajian dari DIM yang diberikan oleh pemerintah. "Baik itu yang dihapus, atau materi baru, atau penambahan substansi. Nanti kita pelajari sebelum kita presentasikan kepada Panitia Khusus (Pansus)," tutup Sensi. (ica/rdn)

support_agent
phone
mail_outline
chat