KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

2022-03-01


Guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 2002 melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Sebab, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan tindak pidana narkotika tersebut dikarenakan maraknya komoditas ekspor narkotika dalam perdagangan internasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, maraknya tindak pidana Narkotika tersebut menunjukkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika belum mampu menjadi dasar hukum yang efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika untuk saat ini. Sehingga, pembentuk undang-undang menerbitkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) dan mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Adapun materi muatan yang ditambahkan dalam UU Narkotika guna mengefektifkan upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta guna melindungi masyarakat dan bahaya penyalahgunaan Narkotika, antara lain: 1. menambahkan pengaturan mengenai Prekursor Narkotika, karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika; 2. menambahkan pemberatan sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk menimbulkan efek jera; 3. penguatan kelembagaan Badan Narkotika Nasional (BNN); 4. penguatan kewenangan BNN dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan; 5. perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; 6. menambahkan pengaturan mengenai kerjasama baik bilateral, regional, maupun internasional, guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara; dan 7. penguatan peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dalam kurun waktu 12 tahun berlakunya UU Narkotika masih ditemukan, beberapa isu permasalahan UU Narkotika antara lain: 1. Ketidakjelasan Definisi Pecandu, Penyalah Guna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika; 2. Permasalahan Frasa "Penyidik BNN" dalam Pasal 75 UU Narkotika; 3. Ketidakjelasan Frasa "Memiliki, Menyimpan, Menguasai" dalam Pasal 111 dan Pasal 112 UU Narkotika dan Ketidakjelasan Kategori Penyalah Guna yang Dapat Direhabilitasi Pasal 127 UU Narkotika. 4. Belum adanya pengaturan mengenai asesmen terpadu dalam UU Narkotika; 5. Potensi disharmoni UU Narkotika dengan KUHAP terkait jangka waktu penangkapan dan potensi disharmoni UU Narkotika dengan UU SPPA terkait frasa "setiap orang" dalam Ketentuan Pidana UU Narkotika yang menempatkan Anak bukan sebagai korban; 6. Belum optimalnya pelaksanaan asesmen terpadu dikarenakan keterbatasan peran Tim Asesmen Terpadu dalam melaksanakan tugas nya; 7. Minimnya tempat rehabilitasi dan laboratorium narkotika dan prekursor narkotika; 8. minimnya dukungan anggaran untuk pelaksanaan asesmen terpadu dan rehabilitasi; 9. masih adanya kekhawatiran dari masyarakat untuk terlibat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika; dan 10. pemahaman APH yang masih menitikberatkan pada pendekatan pemidanaan dibandingkan pendekatan kesehatan.

Bagikan Kajian Ini

Kajian Terkait

Evaluasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang...

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Repub...

ANALISIS DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDAN...

Pelindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia meru...

ANALISIS DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UND...

Pembentukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tent...

ANALISIS DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDA...

Lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang...

ANALISIS DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDA...

Bahhwa salah satu upaya pembangunan dalam kerangka...

ANALISIS DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDAN...

Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupa...

support_agent
phone
mail_outline
assignment