Simas PUU Polhukam
Partisipasi Masyarakat dalam Perancangan Undang-Undang (SIMAS PUU) merupakan partisipasi masyarakat berbasis online system guna mewujudkan perancangan undang-undang yang partisipatif, transparan, akuntabel, berintegrasi, efisien dan efektif terhadap penyusunan Naskah Akademik dan draf Rancangan Undang-Undang di Badan Keahlian DPR RI. SIMAS PUU memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:
1. Menginformasikan kepada publik penyusunan Naskah Akademik dan draf RUU di Badan Keahlian DPR RI.
2. Menerima masukan masyarakat terhadap Naskah Akademik dan draf RUU yang sedang disusun di Badan Keahlian DPR RI.
3. Menyampaikan atau menginformasikan kepada masyarakat hasil dari pengolahan masukan serta tindak lanjutnya secara transparan, akuntabel, efisien serta berintegritas.
SIMAS PUU EKRA
SIMAS PUU
Isu :
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-
Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Timur merupakan Undang-Undang yang menggantikan
Undang-
Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah
Otonom Propinsi Kalimantan. Undang-Undang ini dibentuk
berdasarkan Pasal
89, 131, 132 dan 142 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) dan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Republik Indonesia, mengingat
perkembangan ketatanegaraan serta keinginan rakyat di Kalimantan
dianggap perlu untuk membagi daerah otonom Provinsi Kalimantan
sementara dalam tiga bagian, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan dan
Kalimantan Timur, masing-masing dalam batas-batas yang ditetapkan
dalam
undang-undang dan masing-masing berhak mengatur dan mengurus
rumah
tangganya sendiri sebagai daerah otonom provinsi.
Seiring pembangunan/perkembangan hukum nasional, UU tentang
Pembentukan Daerah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan
Timur sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan ketatanegaraan
setelah
Indonesia kembali ke UUD NRI Tahun 1945 sejak Dekrit Presiden 5 Juli
tahun
1959, terlebih lagi pasca reformasi, karena jiwa dan semangat serta
materi
muatan UU tentang Pembentukan Daerah Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, dan Kalimantan Timur sudah tidak sejalan dengan amanat UUD
NRI
Tahun 1945 sebagaimana beberapa kali diamandemen pada era
reformasi,
terakhir pada 10 Agustus 2002. Oleh karena itu, melihat dasar hukum
sudah
out of date (UUDS Tahun 1950 dan UU tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan
Daerah 1957), perlu adanya pengaturan pembaharuan/penyesuaian
yang
sejalan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 23
Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
beberapa kali
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan
Daerah.
Isu :
Perubahan dalam UU tentang Pemerintahan Aceh terjadi dikarenakan
akibat hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini sesuai
dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU tentang P3) jo.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 maka perlu ada tindak lanjut dari
Putusan MK ini dalam bentuk perubahan undang-undang.
Terdapat 2 (dua) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang amar
putusannya mengabulkan permohonan pemohonnya yakni Putusan MK
Nomor 35/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016 dan
hingga kini belum kunjung ditindaklanjuti maka perlu ada tindak lanjut
dari Putusan MK dalam bentuk perubahan undang-undang. Hal yang
diubah dan perlu disesuaikan antara lain terkait dengan syarat calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah, antara lain terkait usia calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah dan mantan terpidana yang maju
sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Isu :
Provinsi Sulawesi Utara dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pembentukan
Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara
dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 tentang
Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah
Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Tahun 1964
Nomor 7) menjadi Undang-Undang (UU No. 13 Tahun 1964). UU No. 13
Tahun 1964 berlaku sejak tanggal 23 September 1964 dan diberlakukan
surut sejak tanggal 1 Januari 1964. UU No. 13 Tahun 1964 sudah berlaku
lebih dari 50 (lima puluh) tahun. Mengingat peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar hukum pembentukan UU No. 13 Tahun
1964 banyak yang sudah mengalami perubahan bahkan beberapa di
antaranya sudah tidak berlaku lagi maka UU No. 13 Tahun 1964 perlu
diubah untuk disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar hukumnya tersebut. Selanjutnya, UU No. 13 Tahun 1964
terdiri atas 3 (tiga) bab dan 13 (tiga belas) pasal. UU No. 13 Tahun 1964
pada pokoknya mengatur mengenai pembentukan daerah, cakupan
wilayah, kepala daerah dan wakil kepala daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Gotong Royong, dan penyerahan aset daerah. Selain diatur dalam
UU No. 13 Tahun 1964, kepala daerah dan wakil kepala daerah serta
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun
2020 (UU Nomor 1 Tahun 2015) danUndang- Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 (UU No. 23
Tahun 2014). Mengingat UU No. 13 Tahun 1964 dibentuk lebih dahulu
maka materi muatan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 1964 tentu tidak
sesuai dengan materi muatan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2015
dan UU No. 23 Tahun 2014. Oleh karena itu, materi muatan UU No. 13
Tahun 1964 perlu diubah untuk disesuaikan dengan materi muatan UU
No. 1 Tahun 2015 dan UU No. 23 Tahun 2014. Selain itu, UU No. 13
Tahun 1964 dibentuk sebelum adanya Undang- Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12
Tahun 2011). Oleh karena itu, teknik penyusunan UU No. 13 Tahun 1964
perlu diubah untuk disesuaikan dengan teknik penyusunan undang-
undang sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Untuk
menyelesaikan permasalahan hukum tersebut maka Komisi II DPR RI
berinisiatif untuk membentuk undang-undang yang akan mengubah UU
No. 13 Tahun 1964. Salah satu hasil keputusan Rapat Pimpinan Komisi II
DPR RI tanggal 24 Agustus 2020 adalah bahwa Komisi II DPR RI akan
melakukan pembahasan rancangan undang-undang kumulatif terbuka
tentang perubahan undang-undang pembentukan provinsi. Salah satu
undang-undang pembentukan provinsi yang akan diubah adalah UU No.
13 Tahun 1964. Hal ini mengingat UU No. 13 Tahun 1964 masih
mengatur mengenai 4 (empat) provinsi yakni, Provinsi Sulawesi Utara,
Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Provinsi
Sulawesi Selatan dalam satu undang-undang. Berdasarkan Surat Nomor
LG/075/KOM.IIVIII/2020 tanggal 25 Agustus 2020, Komisi II DPR RI
meminta Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI untuk menyusun
Naskah Akademik dan Draft RUU Provinsi Sulawesi Utara.
Isu :
Dalam peribahasa hukum het recht hinkt achter de faiten aan yang
memiliki arti bahwa hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar perubahan
zaman menujukkan bahwa pada hakikatnya hukum seharusnya mengikuti
perkembangan zaman yang ada dan bukan justru sebaliknya. Hal ini
dikarenakan hukum terbentuk dalam moment opname yakni momentum
realitas yang tertangkap saat itu (Sidin, 2020), sehingga ketika zaman
berubah maka penyesuaian perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang
tindih pengaturan baik secara vertikal dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku secara horizontal.
peribahasa hukum atau adagium hukum yang berlaku secara universal itu
pula yang juga dialami oleh Provinsi Jambi yang hingga saat ini masih
menggunakan dasar hukum UU No. 61 Tahun 1958 tentang penetapan
Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau (UU
No. 61 Tahun 1958) sebagai dasar pembentukannya. Pada tahun 1950,
Pemerintah Republik Indonesia (Yogyakarta) menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950. Pemerintah
telah membentuk Provinsi Sumatera Tengah, yang meliputi daerah-daerah
administratif keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948
tentang Pokok Pemerintahan Daerah. Seiring perkembangan baru yang
terjadi dalam masyarakat, sudah tidak sesuai lagi dengan daerah-daerah
yang diliputinya. Rakyat dari daerah- daerah keresidenan Jambi dan Riau
pada saat itu telah mengajukan tuntutan- tuntutan dalam bentuk mosi,
resolusi, dan pernyataan-pernyataan lain. Tuntutan-tuntutan ini disertai
beberapa alasan tentang ketidakpuasan dari rakyat, antara lain: 1. Sulit
dan jauhnya perhubungan antara ibukota-ibukota Kabupaten- kabupaten
dalam keresidenan Jambi dan Riau dan ibukota Provinsi; 2. Karena
sulitnya hubungan daerah-daerah yang jauh letaknya dari ibukota Provinsi
ini tidak mendapatkan layanan selayaknya dari Pemerintah Provinsi; 3.
Berhubung dengan itu daerah-daerah yang bersangkutan ingin
berhubungan langsung dengan pemerintah pusat. Setelah Pemerintah
mempelajari bahan-bahan yang diajukan dan meneliti faktor-faktor
politis, sosial-ekonomis, geografis, dan lain sebagainya, maka Pemerintah
berpendapat bahwa apabila tiga daerah administratif Keresidenan
Sumatera Barat, Jambi, dan Riau yang mana merupakan wilayah Provinsi
Sumatera Tengah lama dapat dibentuk menjadi daerah tingkat I sehingga
Pemerintah mengambil kesimpulan, bahwa telah dibentuk daerah tingkat I
Sumatera Barat, daerah tingkat I Jambi, dan daerah tingkat I Riau. Oleh
karena itu, Pemerintah berdasarkan Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Sementara menetapkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun
1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera
Barat, Jambi, dan Riau. Kemudian, disahkan Undang-Undang Nomor 61
Tahun 1958 tentang penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun
1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera
Barat, Jambi, dan Riau (UU No. 61 Tahun 1958). UU No. 61 Tahun 1958
terdiri dari 6 BAB dan 14 Pasal. Dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 61 Tahun
1958 mengatur pembubaran daerah swatantra tingkat I Sumatera Tengah
dan pembentukan tiga daerah swatantra tingkat I dengan nama dan
batas-batas sebagai berikut: 1) Daerah swatantra Tingkat I Sumatera
Barat, meliputi: Agam; Padang/Pariaman; Solok; Pasaman;
Sawahlunto/Sijunjung; Limapuluh Kota; Pesisir Selatan/Kerinci; Tanah
Datar, Bukittinggi; Padang; Sawahlunto; Padang Panjang; Solok; dan
Payakumbuh. 2) Daerah Swatantra Tingkat I Jambi, meliputi:
Batanghari; Merangin, dan wilayah kecamatan: Kerinci Hulu, Kerinci
Tengah, Kerinci Hilir, dan Kotapraja Jambi. 3) Daerah Swatantra Tingkat I
Riau, meliputi: Bengkalis; Kampar; Inderagiri; Kepulauan Riau; dan
Kotapraja Pekanbaru. Pemerintah Daerah Swatantra Tingkat I Riau
berkedudukan di Tanjung Pinang, Daerah Swatantra Tingkat I Jambi di
Jambi, dan Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat di Bukittinggi.
Namun dalam perkembangan keadaan daerah menghendakinya, maka
tempat kedudukan pemerintah daerah dapat dipindahkan ke lain tempat
dalam wilayah daerahnya (Pasal 2 UU No. 61 Tahun 1958). Kewenangan
daerah swatantra diatur dalam BAB II meliputi: urusan tata usaha daerah;
hak menguasai benda-benda tambang; penangkapan ikan di pantai; izin
yang menimbulkan gangguan; pembuatan sumur bor; dan hal penguburan
mayat. Kemudian, dalam BAB III mengatur tentang Hal-hal yang berkaitan
dengan penyerahan, kekuasaan, campur tangan dan pekerjaan- pekerjaan
yang diserahkan kepada daerah. BAB IV berisi ketentuan yang mengatur
keuangan daerah. Selanjutnya BAB V memuat Ketentuan Peralihan yang
masih berlaku, yang dapat dicabut, ditambah, atau diubah oleh masing-
masing daerah. Secara horizontal UU No. 61 Tahun 1958 sudah tidak
sinkron dengan UU No. 23 tahun 2014 yang sudah mengatur pembagian
kewenangan/ pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah (desentralisasi
simetris) dan hak dan kewajiban pemrintahan daerah dalam mengatur
daerahnya (otonomi) yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Sedangkan secara vertikal UU No. 61 Tahun 1958 tidak sesuai
dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang didasarkan
pada undang-undang dasar hasil amandemen yaitu Pasal 18 UUD NRI
Tahun 1945 yang mengatur prinsip- prinsip penyelenggaraan
pemerintahan daerah diantaranya yaitu: 1) Pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal
18 ayat (2)). 2) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing
sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih
secara demokratis (Pasal 18 ayat (4)). 3) Pemerintah daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-
undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5)). 4)
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan (Pasal 18 ayat (6)). 5) Hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-
undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (Pasal
18A ayat (1)). 6) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang (Pasal 18A ayat (2)). Adapun kepentingan
DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk membaharui undang-
undang yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Jambi juga sejalan
dengan hasil keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tanggal 13 Januari
2020, dimana salah satu hasil keputusan tersebut menyatakan bahwa
Komisi II DPR RI akan melakukan pembahasan Rancangan Undang-
Undang Kumulatif Terbuka tentang Pembentukan Provinsi, mengingat
dasar hukumnya masih menggunakan UU Republik Indonesia Serikat,
dimana dalam satu undang-undang masih terdapat penggabungan
provinsi, yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958 tentang
Provinsi Kalimatan Barat, Kalimatan Selatan, dan Kalimatan Tengah; 2)
Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Provinsi Sumaera Barat,
Provinsi Jambi, dan Provinsi Riau; dan 3) Undang-Undang Nomor 64
Tahun 1958 tentang Provinsi Bali, Provinsi NTB, dan Provinsi NTT.
Berdasarkan penelahaan hal-hal tersebut diatas dan untuk membantu
tugas konstitusional dewan dibidang legislasi, Komisi II DPR RI bermaksud
mengusulkan pembentukan UU tentang Provinsi Jambi dengan
menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk melakukan penyusunan Naskah
Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Jambi. RUU
tentang Provinsi Jambi ini masuk dalam Daftar Kumulatif Terbuka Prioritas
Program Legislasi Nasional Tahun 2020. Surat Nomor
LG/060/KOM.II/VII/2020 tertanggal 7 Juli 2020 menjadi dasar
administratif penyusunan UU provinsi Jambi.
Isu :
Pembentukan daerah otonom pada dasarnya merupakan bentuk
pengakuan dan pemberian hak oleh negara kepada suatu kelompok
masyarakat (locality) untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan aspirasi masyarakat yang
bersangkutan. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibentuklah pemerintahan
daerah yang menurut Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 diatur
dengan undang-undang. Kondisi riil pengaturan Provinsi Sumatera Barat
sebagai sebuah daerah otonom, masih menggunakan Undang-Undang
Nomor 61 Tahun 1958 tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat No.
19 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I
Sumatera Barat, Jambi dan Riau" (Lembaran-Negara Tahun 1957 No. 75).
Pembentukan undang-undang ini, masih didasarkan pada Undang-
Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS Tahun 1950) dan dalam
bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Demikian pula dengan
pola otonomi daerahnya yang masih berdasarkan kepada Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (UU
tentang Pokok Pemda Tahun 1957). UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957
sudah tidak berlaku lagi dan telah beberapa kali diganti, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
yang juga sudah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015. Perubahan peraturan tersebut menyebabkan
pengaturan mengenai Provinsi Sumatera Barat tidak lagi sejalan dengan
pengaturan mengenai pemerintahan daerah karena telah terjadi
perubahan paradigma pelaksanaan otonomi daerah, salah satunya adalah
dengan dikenalnya prinsip otonomi seluas-luasnya. Prinsip otonomi
seluas-luasnya, memberikan kesempatan kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri daerahnya sesuai dengan kearifan,
inovasi, daya saing, kreatifitas daerah, nilai dan tata kelola kehidupan
bersama yang diyakini oleh masyarakat di daerahnya. Hal ini
memungkinkan pengaturan antara daerah otonom yang satu, berbeda
dengan daerah otonom lainnya. Melalui hal tersebut, diharapkan usaha
untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai lebih cepat.
Berdasarkan hal itulah, diperlukan penyesuaian pengaturan mengenai
Provinsi Sumatera Barat. Penyusunan Naskah Akademik dan Draf
Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Sumatera Barat dilakukan
sesuai dengan penugasan dari Komisi II DPR RI melalui Surat Nomor
LG/060/KOM.II/VII/2020 tertanggal 7 Juli 2020 dan Surat Nomor
LG/075/KOM.II/VIII/2020 tanggal 25 Agustus 2020, yang menugaskan
Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun Naskah Akademik dan Draf RUU
12 (dua belas) provinsi, yang salah satunya adalah RUU tentang Provinsi
Sumatera Barat.
Isu :
Filosofi dibentuknya daerah otonom yaitu sebagai bentuk pengakuan dan
pemberian hak oleh negara kepada suatu kelompok masyarakat (locality)
untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri terhadap urusan tertentu. Hal
ini karena pembentukan daerah otonom tersebut merupakan pemberian hak
kepada sekelompok masyarakat untuk mengelola sendiri kehidupan
bersamanya yang dapat berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya dalam
suatu negara, maka penetapan dan pembentukan daerah otonom tersebut
memerlukan kesepakatan antar warga negara, sehingga penetapan dan
pembentukannya harus dilakukan dan disepakati oleh rakyat negara melalui
perwakilannya di parlemen, karena itulah pembentukan daerah otonom pada
umumnya ditetapkan dengan undang-undang yang dibuat oleh lembaga
perwakilan rakyat.
Di Indonesia, hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945)
yang menyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah,
yang diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya pada saat pemerintahan
negara membentuk suatu daerah otonom, maka pada saat itu pula ditentukan
batas wilayahnya, urusan bersama (urusan pemerintahan) yang diserahkan
untuk dikelola sendiri, sumber pendapatan yang diserahkan, dan aspek
pengelolaan pemerintahan lainnya. Dengan demikian, desain pengaturan
mengenai daerah otonom seharusnya tidak terbatas pada pengaturan yang
bersifat administratif saja, melainkan juga membuka ruang bagi tiap daerah
untuk mengurus daerahnya sesuai dengan nilai yang diyakini oleh
masyarakatnya dan juga mengurus daerahnya sesuai dengan potensi daerah
untuk meningkatkan kesejahteraan daerahnya.
Sebagai sebuah daerah otonom, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
belum diatur dengan undang-undang tersendiri sebagaimana ditegaskan
Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dasar hukum pembentukan Provinsi
NTT saat ini masih berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur (UU tentang Bali, NTB, dan NTT). Selanjutnya ditetapkan
pula Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-
daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur.
UU tentang Bali, NTB, dan NTT dibentuk pada saat negara Indonesia dalam
bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) serta berdasarkan konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS Tahun 1950) dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah (UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957). Berdasarkan Dekrit Presiden
5 Juli 1959, UUDS Tahun 1950 menjadi tidak berlaku dan berlaku kembali
UUD NRI Tahun 1945. Demikian pula UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957
sudah tidak berlaku lagi dan telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU
tentang Pemda Tahun 1999), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, dan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemda Tahun
2014) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dengan demikian dasar hukum pembentukan
UU tentang Bali, NTB, dan NTT sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saat ini.
UU tentang Bali, NTB, dan NTT terkait dengan konsep otonomi daerah,
mengacu pada sistem otonomi riil/nyata (Penjelasan umum UU tentang Pokok
Pemda Tahun 1957) karena saat itu pula belum mengenal konsep otonomi
daerah, apalagi otonomi luas yang baru muncul sejak berlakunya UU tentang
Pemda Tahun 1999. Saat ini Indonesia sudah dalam bentuk NKRI dengan
konstitusi UUD NRI Tahun 1945, sistem pemerintahan presidensiil serta
urusan pemerintahan daerah dan otonomi daerah mengacu pada UU tentang
Pemda Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015. Selain itu ada pula hal yang tidak sejalan dengan
konsep otonomi daerah pada saat ini, misal dari segi judul UU tentang Bali,
NTB, dan NTT masih menggunakan nomenklatur Daerah Tingkat I, padahal
sejak diberlakukannya UU tentang Pemda Tahun 1999 nomenklatur tersebut
sudah tidak digunakan lagi dan diganti dengan istilah Provinsi. Hal ini sesuai
dengan kondisi saat ini yang telah terjadi perubahan paradigma dalam
kehidupan politik dan sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem
otoritarian kepada sistem demokrasi dan dari sistem sentralisasi ke sistem
desentralisasi.
UU tentang Bali, NTB, dan NTT telah berlaku lebih dari 60 (enam puluh)
tahun. Akan tetapi, UU tentang Bali, NTB, dan NTT belum dapat
menyelesaikan sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh Provinsi NTT. Hal
ini karena pengaturan Provinsi NTT dalam UU tentang Bali, NTB, dan NTT
hanya bersifat administratif. UU tentang Bali, NTB, dan NTT tidak memberi
kerangka hukum pembangunan Provinsi NTT secara utuh sesuai potensi
daerah dan karakteristik sehingga tidak mengakomodasi kebutuhan
perkembangan zaman dalam pembangunan Provinsi NTT.
Kondisi Provinsi NTT saat ini antara lain masih tingginya kemiskinan, tingkat
pendidikan masih kurang, tingkat perekonomian masih rendah, dan banyak
permasalahan di wilayah pesisir kepulauan dan perbatasan. Selain itu, potensi
daerah belum dimanfaatkan secara optimal padahal Provinsi NTT merupakan
wilayah kepulauan yang kaya akan sumber daya kelautan dan perikanan,
seharusnya perlu ditingkatkan pemanfaatan, pengelolaan, dan pembangunan
sumber daya kelautan terebsut demi meningkatkan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat Provinsi NTT. Potensi daerah yang juga perlu
diperhatikan dan dikembangkan lagi yaitu kain tenun, ada kain tenun khas
Sumba, khas Rote, khas Timor Tengah Selatan, dan khas Manggarai. Provinsi
NTT pun menjadi daya tarik wisatawan domestik maupun mancanegara
karena potensi keindahan alam, adat dan kebudayaannya. Wisata alam di
Provinsi NTT yang terkenal antara lain Pulau Komodo, Labuan Bajo, Danau
Kelimutu, Pantai Batu Biru, dan Air Terjun Oenesu. Selain wisata alam, ada
banyak adat dan kebudayaan di NTT yang menjadi kekhasan dan menarik
wisatawan seperti ritual adat, atraksi budaya, upacara adat, dll. Pembangunan
pariwisata juga harus menjadi perhatian dalam pembangunan Provinsi NTT
untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sepatutnya menuntut Provinsi NTT
untuk bergerak cepat membangun daerahnya, namun dengan tidak
meninggalkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk mewujudkan
hal tersebut, pengaturan mengenai Provinsi NTT tidak boleh lagi bersifat
kaku yang hanya menekankan pada hal-hal yang bersifat administratif saja,
melainkan harus diberi ruang untuk dapat mengurus dirinya sendiri sesuai
dengan potensi daerah dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Selain berdasarkan uraian tersebut, saat ini RUU tentang Provinsi NTT
termasuk dalam Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka yang masuk
dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020.
Berdasarkan Surat Nomor LG/075/KOM.II/VIII/2020 tertanggal 25 Agustus
2020, Komisi II DPR RI meminta Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun
Naskah Akademik dan Draf RUU 12 (dua belas) provinsi, salah satunya yaitu
RUU tentang Provinsi NTT. Provinsi tersebut masih diatur dalam satu undang-
undang yang mengatur pembentukan beberapa provinsi dan masih
berdasarkan UUDS Tahun 1950. UU tentang Bali, NTB, dan NTT tidak hanya
mengatur Provinsi NTT saja, namun juga mencakup Provinsi Bali dan Provinsi
NTB. Masing-masing provinsi perlu diatur dalam undang-undang yang
terpisah. Pengaturan mengenai Provinsi NTT perlu diatur dalam undang-
undang tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh
Provinsi NTT dan untuk menyesuaikan ketentuan yang terdapat dalam UU
tentang Bali, NTB, dan NTT yang berkaitan dengan Provinsi NTT dengan
peraturan perundang-undangan lainnya terutama dengan UUD NRI Tahun
1945 dan UU tentang Pemda Tahun 2014 dengan tanpa mengurangi
kekhususan Provinsi NTT. Oleh karena itu perlu disusun RUU tentang Provinsi
NTT.
Isu :
RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU
Mahkamah Konstitusi”) dibentuk untuk menjalankan amanat Pasal 24C ayat (6)
UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa pengangkatan dan
pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang
Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Selanjutnya undang-
undang ini kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (“UU Perubahan Mahkamah Konstitusi”). Dalam
perkembangannya, beberapa ketentuan UU Perubahan Mahkamah Konstitusi
juga telah diuji dan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam
pelaksanaannya, terdapat permasalahan terkait dengan kelembagaan dan
hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagai implikasi atas adanya putusan
Mahkamah Konstitusi dan kebutuhan hukum masyarakat yang mempengaruhi
norma dari UU Mahkamah Konstitusi. Tindak lanjut terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi tentang pengujian undang-undang yang perlu dikaji lebih lanjut
untuk mengetahui adanya dampak terhadap Mahkamah Konstitusi, yakni: a.
Putusan MK No.066/PUU-II/2004: Pengujian pasal 50 tentang pengujian
undang-undang UU sebelum perubahan UUD 1945. b. Putusan MK No.034/PUU-
X/2012: Pasal 7A ayat (1) tentang batas usia pensiun panitera. c. Putusan MK
No.7/PUU-XI/2013: Pasal 15 ayat (2) huruf d tentang persyaratan batas usia
hakim MK. d. Putusan MK No.93/PUU-XV/2017: tentang pengujian undang-
undang di bawah UU yang sedang dilakukan MA bukan wajib dihentikan
melainkan ditunda apabila UU yang menjadi dasar pengujian sedang dalam
proses pengujian undang-undang di MK, sampai ada putusan MK. e. Putusan
MK No.48/PUU-IX/2011: Pengujian Pasal 45A, 57 ayat (2a), yaitu MK
diperbolehkan untuk melakukan ultra petita terhadap Putusan MK. f. Putusan
MK No.49/PUU-IX/2011: Pengujian Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), ayat (4h), dan
Pasal 10, Pasal 15 ayat (2) huruf h sepanjang frasa “dan/atau pernah menjadi
pejabat negara”, Pasal 26 ayat (5), Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e
ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 50A, Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87
dibatalkan. Antara lain: tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK, adanya
penjelasan pasal yang ada di batang tubuh, persyaratan untuk diangkat Hakim
MK, sisa jabatan hakim pengganti, penghapusan kewenangan KY dalam
mengawasi hakim MK. g. Putusan MK No.68/PUU-XI/2011: Pengujian Pasal 15
ayat (2): sepanjang frasa “magister” untuk prasyarat menjadi hakim MK
dibatalkan. Dengan adanya perkembangan kebutuhan hukum dan
menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka perlu dilakukan
penyempurnaan dan perubahan terhadap UU Mahkamah Kontitusi. Selain itu,
perubahan undang- undang akibat putusan MK merupakan RUU yang masuk
dalam daftar kumulatif terbuka, sehingga harus segera ditindaklanjuti dengan
melakukan perubahan atau penggantian.
Isu :
Berdasarkan ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan Provinsi
Kalimantan Barat masih berdasarkan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1956.
Padahal Undang Undang Nomor 25 Tahun 1956 tidak hanya mengatur Provinsi
Kalimantan Barat saja, namun juga mencakup Kalimantan Timur. Selain itu,
Undang Undang Nomor 25 Tahun 1956 dibentuk di saat kondisi Indonesia
masih dalam kondisi darurat, menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950), bentuk negara Indonesia masih berbentuk
Republik Indonesia Serikat, dan sistem pemerintahan quasi parlementer.
Padahal
saat ini, Indonesia sudah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang diamandemen
terakhir pada tahun 2002, dengan bentuk negara berupa Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dan sistem pemerintahan presidensiil. Tentu saja
dengan perbedaan mendasar baik dari segi konstitusi, bentuk negara, sistem
pemerintahan, maupun tuntutan perkembangan saat ini, perlu diadakan
pembaharuan terhadap undang- undang yang menjadi dasar pembentukan
Provinsi Kalimantan Barat. Selain itu, dari sedikit ulasan kondisi wilayah di atas
juga maka perlu suatu kebijakan yang mengelola daerah dengan segala sumber
daya yang dimiliki berserta solusinya secara lebih tepat terhadap persoalannya
yang dihadapi. Urgensi pembaharuan terhadap undang-undang yang menjadi
dasar pembentukan Provinsi Kalimantan Barat juga sejalan dengan hasil
keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tanggal 13 Januari 2020, dimana salah
satu hasil keputusan tersebut menyatakan bahwa Komisi II DPR RI akan
melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka tentang
Pembentukan Provinsi, mengingat dasar hukumnya masih menggunakan UU
masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada keputusan rapat
internal Komisi II DPR RI tersebut, menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk
menyusun naskah akademik dan draf RUU 8 (delapan) provinsi tersebut,
berdasarkan Surat Nomor LG/060/KOM.II/VII/2020 tertanggal 7 Juli 2020. Oleh
karena itu, terdapat dasar hukum bagi penyusunan Naskah Akademik (NA) dan
draf RUU 8 (delapan) provinsi, dimana Provinsi Kalbar merupakan salah satunya.
Dalam rangka penyusunan RUU tentang Provinsi Kalimantan Barat, maka penting
untuk menyusun Naskah Akademik dan RUU tentang Provinsi Kalimantan Barat.
Isu :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) perlu diganti dengan beberapa
alasan yaitu pertama untuk mengatasi permasalahan dan penerapan KUHAP
yang terjadi di masyarakat selama ini. Kedua, untuk menyesuaikan norma-
norma yang diatur dalam KUHAP dengan norma-norma yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan terkait termasuk dalam hal ini dengan berbagai
perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia.
Ketiga, untuk menindaklanjuti beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang
membatalkan keberlakuan norma-norma yang diatur dalam KUHAP. Keempat,
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hukum acara pidana yang
lebih memenuhi rasa keadilan, menjamin kepastian hukum, dan memberikan
kemanfaatan bagi masyarakat. Kelima, KUHAP merupakan hukum pidana formil
yaitu hukum pidana yang mengatur tata cara penegakan hukum pidana materiil
[Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)]. Oleh karena itu, norma-norma
yang diatur dalam KUHAP perlu disesuaikan dengan perubahan norma-norma
yang diatur dalam KUHP.
Isu :
Sebagaimana kita ketahui bahwa Provinsi Kalimatan Selatan pada saat ini
masih menggunakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Timur (UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, dan Kalimantan Timur). Undang-Undang tersebut lahir pada saat
zaman konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Jika kita bandingkan ke
kondisi saat ini, dimana konsep saat ini adalah otonomi daerah sebagai
perwujudan dari desentralisasi yang kita anut jelas hal ini sudah tidak sejalan.
Pada awalnya dahulu, konsep otonomi daerah itu muncul sebagai salah satu
pembaharuan pola bernegara pasca reformasi adalah perubahan dari sistim
yang sentralistik ke model desentraliasi. Amanat desentralisasi ini tercantum
dalam amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) tepatnya di dalam perubahan Pasal 18.
Dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut dapat kita ketahui
bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-
tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan undang-undang”, dalam hal konteks negara kesatuan
pemahaman melihat pasal ini harus dibaca utuh pula dengan Pasal 4 ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Adapun ketika kita membaca secara utuh Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945 kita akan mendapatkan pemahaman bahwa konstitusi
secara nyata memberikan kekuasaan pemerintahan negara ini berada di
tangan Presiden, beliau lah “nahkoda” utama dalam negara ini, namun
kekuasaan yang ada di pusat itu dibagi kepada daerah-daerah untuk bisa
mengurus wilayahnya namun dalam bentuk negara kesatuan. Itulah mengapa
frasa yang digunakan adalah frasa “dibagi atas” dalam Pasal 18 ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945 bukan justru “terdiri atas”. Frasa “dibagi atas” yang
digunakan dalam Pasal 18 ayat (1) memiliki maksud bahwa negara Indonesia
adalah negara kesatuan yang kedaulatan negara berada di tangan Pemerintah
(pusat) sesuai Pasal 4 ayat (1). Hal ini jelas dan sangat berbeda bilamana
yang dipilih frasa “terdiri atas” yang lebih menunjukkan substansi federalisme
karena istilah itu menunjukkan letak kedaulatan berada di tangan negara-
negara bagian.
Konsep otonomi daerah selalu berubah-ubah dan senantiasa mencari bentuk
yang ideal. Konsep yang saat ini terakhir digunakan yakni melalui Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemda). Dalam konsep UU tentang
Pemda ini, pandangan mengelola daerah yang sangat berbeda dengan UU
tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur yang
merupakan dasar lahirnya provinsi Kalimantan Selatan.
Sebagai contoh saja, misalnya dalam Pasal 3 ayat (1) UU tentang Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur dinyatakan bahwa “Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Kalimantan-Barat, Kalimantan-Selatan dan
Kalimantan-Timur masing-masing terdiri dari 30 anggota”. Hal ini jelas tidak
sesuai lagi dengan kondisi saat ini dimana dalam Pasal 102 ayat (1) UU
tentang Pemda yang mengatur bahwa “Anggota DPRD provinsi berjumlah
paling sedikit 35 (tiga puluh lima) orang dan paling banyak 100 (seratus)
orang”. Hal ini bahkan lebih tidak sesuai lagi karena perkembangan terbaru
ada Pasal 188 ayat (1) UU tentang Pemda yang berbunyi “Jumlah kursi DPRD
Provinsi ditetapkan paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan paling banyak 120
(seratur dua puluh)”.
Begitu juga contoh lainnya yakni misalnya terkait dengan Pasal 5 pada Bagian
II Urusan Kesehatan di UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Timur. Pada ayat (1) dinyatakan bahwa “Propinsi mendirikan dan
menyelenggarakan rumah-sakit umum dan balai pengobatan umum untuk
kepentingan kesehatan dalam lingkungan daerahnya”. Hal ini jelas sudah
sangat berbeda dengan paradigm memandang urusan kesehatan yang
berdasarkanm Pasal 12 ayat (1) huruf b UU tentang Pemda menempatkan
urusan kesehatan pada katagori urusan pemerintahan wajib yang berkaitan
denagn pelayanan dasar.
Lebih lanjut lagi, dalam UU tentang Pemda juga mempunyai lampiran yang
berisi pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat
dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Misalnya kita mau
mencontohkan satu saja misalnya sumber daya manusia di bidang kesehatan,
pemerintah pusat memiliiki peranan untuk penetapan standardisasi dan
registrasi tenaga kesehatan Indonesia, tenaga kesehatan warga negara asing
(TK-WNA), serta penerbitan rekomendasi pengesahan rencana penggunaan
tenaga kerja asing (RPTTKA) dan izin memperkerjakan tenaga asing (IMTA).
Sedangkan provinsi hanya terbatas pada perencanaan dan pengembangan
SDM Kesehatan untuk Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya
Kesehatan Perorangan (UKP) daerah provinsi. Daerah kabupaten/kota beda
lagi, mereka punya keweangan untuk penerbitan izin praktik dan izin kerja
tenaga kesehatan, dan perencanaan dan pengebangan SDM UKM dan UKP
daerah kabupaten/kota.
Beberapa contoh diatas, menujukkan bahwa dasar provinsi Kalimantan
Selatan dengan UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Timur sudah tidak layak lagi. Pembentukan RUU tentang Kalsel ini
sangat penting karena pengaturan yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan jaman. Hal ini yang kemudian menjadi urgensi perlu
dibentuknya RUU ini, karena memang dasar hukum yang masih belaku
hingga saat ini mengusung semangat federalistik yang ada pada jaman RIS.
Hal ini juga tentunya sudah sangat tidak cocok lagi dengan konsep otonomi
daerah saat ini, sehingga perlu dibentuk RUU tersediri tentang Kalimantan
Selatan sebagai solusi dari perkembangan hukum tersebut.