Simas PUU Polhukam

Simas PUU Polhukam

Partisipasi Masyarakat dalam Perancangan Undang-Undang (SIMAS PUU) merupakan partisipasi masyarakat berbasis online system guna mewujudkan perancangan undang-undang yang partisipatif, transparan, akuntabel, berintegrasi, efisien dan efektif terhadap penyusunan Naskah Akademik dan draf Rancangan Undang-Undang di Badan Keahlian DPR RI. SIMAS PUU memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:

1.⁠ ⁠Menginformasikan kepada publik penyusunan Naskah Akademik dan draf RUU di Badan Keahlian DPR RI.
2.⁠ ⁠Menerima masukan masyarakat terhadap Naskah Akademik dan draf RUU yang sedang disusun di Badan Keahlian DPR RI.
3.⁠ ⁠Menyampaikan atau menginformasikan kepada masyarakat hasil dari pengolahan masukan serta tindak lanjutnya secara transparan, akuntabel, efisien serta berintegritas.

SIMAS PUU EKRA SIMAS PUU


Bidang Politik Hukum & HAM

Isu :
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah- Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur merupakan Undang-Undang yang menggantikan Undang- Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Kalimantan. Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan Pasal 89, 131, 132 dan 142 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Republik Indonesia, mengingat perkembangan ketatanegaraan serta keinginan rakyat di Kalimantan dianggap perlu untuk membagi daerah otonom Provinsi Kalimantan sementara dalam tiga bagian, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, masing-masing dalam batas-batas yang ditetapkan dalam undang-undang dan masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai daerah otonom provinsi. Seiring pembangunan/perkembangan hukum nasional, UU tentang Pembentukan Daerah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan ketatanegaraan setelah Indonesia kembali ke UUD NRI Tahun 1945 sejak Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959, terlebih lagi pasca reformasi, karena jiwa dan semangat serta materi muatan UU tentang Pembentukan Daerah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur sudah tidak sejalan dengan amanat UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana beberapa kali diamandemen pada era reformasi, terakhir pada 10 Agustus 2002. Oleh karena itu, melihat dasar hukum sudah out of date (UUDS Tahun 1950 dan UU tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 1957), perlu adanya pengaturan pembaharuan/penyesuaian yang sejalan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.


Isu :
Perubahan dalam UU tentang Pemerintahan Aceh terjadi dikarenakan akibat hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU tentang P3) jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 maka perlu ada tindak lanjut dari Putusan MK ini dalam bentuk perubahan undang-undang. Terdapat 2 (dua) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang amar putusannya mengabulkan permohonan pemohonnya yakni Putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016 dan hingga kini belum kunjung ditindaklanjuti maka perlu ada tindak lanjut dari Putusan MK dalam bentuk perubahan undang-undang. Hal yang diubah dan perlu disesuaikan antara lain terkait dengan syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, antara lain terkait usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dan mantan terpidana yang maju sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.


Isu :
Provinsi Sulawesi Utara dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 7) menjadi Undang-Undang (UU No. 13 Tahun 1964). UU No. 13 Tahun 1964 berlaku sejak tanggal 23 September 1964 dan diberlakukan surut sejak tanggal 1 Januari 1964. UU No. 13 Tahun 1964 sudah berlaku lebih dari 50 (lima puluh) tahun. Mengingat peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum pembentukan UU No. 13 Tahun 1964 banyak yang sudah mengalami perubahan bahkan beberapa di antaranya sudah tidak berlaku lagi maka UU No. 13 Tahun 1964 perlu diubah untuk disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya tersebut. Selanjutnya, UU No. 13 Tahun 1964 terdiri atas 3 (tiga) bab dan 13 (tiga belas) pasal. UU No. 13 Tahun 1964 pada pokoknya mengatur mengenai pembentukan daerah, cakupan wilayah, kepala daerah dan wakil kepala daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong, dan penyerahan aset daerah. Selain diatur dalam UU No. 13 Tahun 1964, kepala daerah dan wakil kepala daerah serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2020 (UU Nomor 1 Tahun 2015) danUndang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 (UU No. 23 Tahun 2014). Mengingat UU No. 13 Tahun 1964 dibentuk lebih dahulu maka materi muatan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 1964 tentu tidak sesuai dengan materi muatan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2015 dan UU No. 23 Tahun 2014. Oleh karena itu, materi muatan UU No. 13 Tahun 1964 perlu diubah untuk disesuaikan dengan materi muatan UU No. 1 Tahun 2015 dan UU No. 23 Tahun 2014. Selain itu, UU No. 13 Tahun 1964 dibentuk sebelum adanya Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011). Oleh karena itu, teknik penyusunan UU No. 13 Tahun 1964 perlu diubah untuk disesuaikan dengan teknik penyusunan undang- undang sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Untuk menyelesaikan permasalahan hukum tersebut maka Komisi II DPR RI berinisiatif untuk membentuk undang-undang yang akan mengubah UU No. 13 Tahun 1964. Salah satu hasil keputusan Rapat Pimpinan Komisi II DPR RI tanggal 24 Agustus 2020 adalah bahwa Komisi II DPR RI akan melakukan pembahasan rancangan undang-undang kumulatif terbuka tentang perubahan undang-undang pembentukan provinsi. Salah satu undang-undang pembentukan provinsi yang akan diubah adalah UU No. 13 Tahun 1964. Hal ini mengingat UU No. 13 Tahun 1964 masih mengatur mengenai 4 (empat) provinsi yakni, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Provinsi Sulawesi Selatan dalam satu undang-undang. Berdasarkan Surat Nomor LG/075/KOM.IIVIII/2020 tanggal 25 Agustus 2020, Komisi II DPR RI meminta Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI untuk menyusun Naskah Akademik dan Draft RUU Provinsi Sulawesi Utara.


Isu :
Dalam peribahasa hukum het recht hinkt achter de faiten aan yang memiliki arti bahwa hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar perubahan zaman menujukkan bahwa pada hakikatnya hukum seharusnya mengikuti perkembangan zaman yang ada dan bukan justru sebaliknya. Hal ini dikarenakan hukum terbentuk dalam moment opname yakni momentum realitas yang tertangkap saat itu (Sidin, 2020), sehingga ketika zaman berubah maka penyesuaian perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan baik secara vertikal dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku secara horizontal. peribahasa hukum atau adagium hukum yang berlaku secara universal itu pula yang juga dialami oleh Provinsi Jambi yang hingga saat ini masih menggunakan dasar hukum UU No. 61 Tahun 1958 tentang penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau (UU No. 61 Tahun 1958) sebagai dasar pembentukannya. Pada tahun 1950, Pemerintah Republik Indonesia (Yogyakarta) menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950. Pemerintah telah membentuk Provinsi Sumatera Tengah, yang meliputi daerah-daerah administratif keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah. Seiring perkembangan baru yang terjadi dalam masyarakat, sudah tidak sesuai lagi dengan daerah-daerah yang diliputinya. Rakyat dari daerah- daerah keresidenan Jambi dan Riau pada saat itu telah mengajukan tuntutan- tuntutan dalam bentuk mosi, resolusi, dan pernyataan-pernyataan lain. Tuntutan-tuntutan ini disertai beberapa alasan tentang ketidakpuasan dari rakyat, antara lain: 1. Sulit dan jauhnya perhubungan antara ibukota-ibukota Kabupaten- kabupaten dalam keresidenan Jambi dan Riau dan ibukota Provinsi; 2. Karena sulitnya hubungan daerah-daerah yang jauh letaknya dari ibukota Provinsi ini tidak mendapatkan layanan selayaknya dari Pemerintah Provinsi; 3. Berhubung dengan itu daerah-daerah yang bersangkutan ingin berhubungan langsung dengan pemerintah pusat. Setelah Pemerintah mempelajari bahan-bahan yang diajukan dan meneliti faktor-faktor politis, sosial-ekonomis, geografis, dan lain sebagainya, maka Pemerintah berpendapat bahwa apabila tiga daerah administratif Keresidenan Sumatera Barat, Jambi, dan Riau yang mana merupakan wilayah Provinsi Sumatera Tengah lama dapat dibentuk menjadi daerah tingkat I sehingga Pemerintah mengambil kesimpulan, bahwa telah dibentuk daerah tingkat I Sumatera Barat, daerah tingkat I Jambi, dan daerah tingkat I Riau. Oleh karena itu, Pemerintah berdasarkan Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara menetapkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau. Kemudian, disahkan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau (UU No. 61 Tahun 1958). UU No. 61 Tahun 1958 terdiri dari 6 BAB dan 14 Pasal. Dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 61 Tahun 1958 mengatur pembubaran daerah swatantra tingkat I Sumatera Tengah dan pembentukan tiga daerah swatantra tingkat I dengan nama dan batas-batas sebagai berikut: 1) Daerah swatantra Tingkat I Sumatera Barat, meliputi: Agam; Padang/Pariaman; Solok; Pasaman; Sawahlunto/Sijunjung; Limapuluh Kota; Pesisir Selatan/Kerinci; Tanah Datar, Bukittinggi; Padang; Sawahlunto; Padang Panjang; Solok; dan Payakumbuh. 2) Daerah Swatantra Tingkat I Jambi, meliputi: Batanghari; Merangin, dan wilayah kecamatan: Kerinci Hulu, Kerinci Tengah, Kerinci Hilir, dan Kotapraja Jambi. 3) Daerah Swatantra Tingkat I Riau, meliputi: Bengkalis; Kampar; Inderagiri; Kepulauan Riau; dan Kotapraja Pekanbaru. Pemerintah Daerah Swatantra Tingkat I Riau berkedudukan di Tanjung Pinang, Daerah Swatantra Tingkat I Jambi di Jambi, dan Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat di Bukittinggi. Namun dalam perkembangan keadaan daerah menghendakinya, maka tempat kedudukan pemerintah daerah dapat dipindahkan ke lain tempat dalam wilayah daerahnya (Pasal 2 UU No. 61 Tahun 1958). Kewenangan daerah swatantra diatur dalam BAB II meliputi: urusan tata usaha daerah; hak menguasai benda-benda tambang; penangkapan ikan di pantai; izin yang menimbulkan gangguan; pembuatan sumur bor; dan hal penguburan mayat. Kemudian, dalam BAB III mengatur tentang Hal-hal yang berkaitan dengan penyerahan, kekuasaan, campur tangan dan pekerjaan- pekerjaan yang diserahkan kepada daerah. BAB IV berisi ketentuan yang mengatur keuangan daerah. Selanjutnya BAB V memuat Ketentuan Peralihan yang masih berlaku, yang dapat dicabut, ditambah, atau diubah oleh masing- masing daerah. Secara horizontal UU No. 61 Tahun 1958 sudah tidak sinkron dengan UU No. 23 tahun 2014 yang sudah mengatur pembagian kewenangan/ pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah (desentralisasi simetris) dan hak dan kewajiban pemrintahan daerah dalam mengatur daerahnya (otonomi) yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan secara vertikal UU No. 61 Tahun 1958 tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang didasarkan pada undang-undang dasar hasil amandemen yaitu Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur prinsip- prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah diantaranya yaitu: 1) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2)). 2) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat (4)). 3) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang- undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5)). 4) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (6)). 5) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang- undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1)). 6) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang (Pasal 18A ayat (2)). Adapun kepentingan DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk membaharui undang- undang yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Jambi juga sejalan dengan hasil keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tanggal 13 Januari 2020, dimana salah satu hasil keputusan tersebut menyatakan bahwa Komisi II DPR RI akan melakukan pembahasan Rancangan Undang- Undang Kumulatif Terbuka tentang Pembentukan Provinsi, mengingat dasar hukumnya masih menggunakan UU Republik Indonesia Serikat, dimana dalam satu undang-undang masih terdapat penggabungan provinsi, yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958 tentang Provinsi Kalimatan Barat, Kalimatan Selatan, dan Kalimatan Tengah; 2) Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Provinsi Sumaera Barat, Provinsi Jambi, dan Provinsi Riau; dan 3) Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Provinsi Bali, Provinsi NTB, dan Provinsi NTT. Berdasarkan penelahaan hal-hal tersebut diatas dan untuk membantu tugas konstitusional dewan dibidang legislasi, Komisi II DPR RI bermaksud mengusulkan pembentukan UU tentang Provinsi Jambi dengan menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk melakukan penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Jambi. RUU tentang Provinsi Jambi ini masuk dalam Daftar Kumulatif Terbuka Prioritas Program Legislasi Nasional Tahun 2020. Surat Nomor LG/060/KOM.II/VII/2020 tertanggal 7 Juli 2020 menjadi dasar administratif penyusunan UU provinsi Jambi.


Isu :
Pembentukan daerah otonom pada dasarnya merupakan bentuk pengakuan dan pemberian hak oleh negara kepada suatu kelompok masyarakat (locality) untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibentuklah pemerintahan daerah yang menurut Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 diatur dengan undang-undang. Kondisi riil pengaturan Provinsi Sumatera Barat sebagai sebuah daerah otonom, masih menggunakan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau" (Lembaran-Negara Tahun 1957 No. 75). Pembentukan undang-undang ini, masih didasarkan pada Undang- Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS Tahun 1950) dan dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Demikian pula dengan pola otonomi daerahnya yang masih berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957). UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957 sudah tidak berlaku lagi dan telah beberapa kali diganti, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga sudah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Perubahan peraturan tersebut menyebabkan pengaturan mengenai Provinsi Sumatera Barat tidak lagi sejalan dengan pengaturan mengenai pemerintahan daerah karena telah terjadi perubahan paradigma pelaksanaan otonomi daerah, salah satunya adalah dengan dikenalnya prinsip otonomi seluas-luasnya. Prinsip otonomi seluas-luasnya, memberikan kesempatan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri daerahnya sesuai dengan kearifan, inovasi, daya saing, kreatifitas daerah, nilai dan tata kelola kehidupan bersama yang diyakini oleh masyarakat di daerahnya. Hal ini memungkinkan pengaturan antara daerah otonom yang satu, berbeda dengan daerah otonom lainnya. Melalui hal tersebut, diharapkan usaha untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai lebih cepat. Berdasarkan hal itulah, diperlukan penyesuaian pengaturan mengenai Provinsi Sumatera Barat. Penyusunan Naskah Akademik dan Draf Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Sumatera Barat dilakukan sesuai dengan penugasan dari Komisi II DPR RI melalui Surat Nomor LG/060/KOM.II/VII/2020 tertanggal 7 Juli 2020 dan Surat Nomor LG/075/KOM.II/VIII/2020 tanggal 25 Agustus 2020, yang menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun Naskah Akademik dan Draf RUU 12 (dua belas) provinsi, yang salah satunya adalah RUU tentang Provinsi Sumatera Barat.


Isu :
Filosofi dibentuknya daerah otonom yaitu sebagai bentuk pengakuan dan pemberian hak oleh negara kepada suatu kelompok masyarakat (locality) untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri terhadap urusan tertentu. Hal ini karena pembentukan daerah otonom tersebut merupakan pemberian hak kepada sekelompok masyarakat untuk mengelola sendiri kehidupan bersamanya yang dapat berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya dalam suatu negara, maka penetapan dan pembentukan daerah otonom tersebut memerlukan kesepakatan antar warga negara, sehingga penetapan dan pembentukannya harus dilakukan dan disepakati oleh rakyat negara melalui perwakilannya di parlemen, karena itulah pembentukan daerah otonom pada umumnya ditetapkan dengan undang-undang yang dibuat oleh lembaga perwakilan rakyat. Di Indonesia, hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya pada saat pemerintahan negara membentuk suatu daerah otonom, maka pada saat itu pula ditentukan batas wilayahnya, urusan bersama (urusan pemerintahan) yang diserahkan untuk dikelola sendiri, sumber pendapatan yang diserahkan, dan aspek pengelolaan pemerintahan lainnya. Dengan demikian, desain pengaturan mengenai daerah otonom seharusnya tidak terbatas pada pengaturan yang bersifat administratif saja, melainkan juga membuka ruang bagi tiap daerah untuk mengurus daerahnya sesuai dengan nilai yang diyakini oleh masyarakatnya dan juga mengurus daerahnya sesuai dengan potensi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan daerahnya. Sebagai sebuah daerah otonom, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) belum diatur dengan undang-undang tersendiri sebagaimana ditegaskan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dasar hukum pembentukan Provinsi NTT saat ini masih berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (UU tentang Bali, NTB, dan NTT). Selanjutnya ditetapkan pula Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah- daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. UU tentang Bali, NTB, dan NTT dibentuk pada saat negara Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) serta berdasarkan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS Tahun 1950) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957). Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUDS Tahun 1950 menjadi tidak berlaku dan berlaku kembali UUD NRI Tahun 1945. Demikian pula UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957 sudah tidak berlaku lagi dan telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemda Tahun 1999), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemda Tahun 2014) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dengan demikian dasar hukum pembentukan UU tentang Bali, NTB, dan NTT sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saat ini. UU tentang Bali, NTB, dan NTT terkait dengan konsep otonomi daerah, mengacu pada sistem otonomi riil/nyata (Penjelasan umum UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957) karena saat itu pula belum mengenal konsep otonomi daerah, apalagi otonomi luas yang baru muncul sejak berlakunya UU tentang Pemda Tahun 1999. Saat ini Indonesia sudah dalam bentuk NKRI dengan konstitusi UUD NRI Tahun 1945, sistem pemerintahan presidensiil serta urusan pemerintahan daerah dan otonomi daerah mengacu pada UU tentang Pemda Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Selain itu ada pula hal yang tidak sejalan dengan konsep otonomi daerah pada saat ini, misal dari segi judul UU tentang Bali, NTB, dan NTT masih menggunakan nomenklatur Daerah Tingkat I, padahal sejak diberlakukannya UU tentang Pemda Tahun 1999 nomenklatur tersebut sudah tidak digunakan lagi dan diganti dengan istilah Provinsi. Hal ini sesuai dengan kondisi saat ini yang telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi dan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. UU tentang Bali, NTB, dan NTT telah berlaku lebih dari 60 (enam puluh) tahun. Akan tetapi, UU tentang Bali, NTB, dan NTT belum dapat menyelesaikan sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh Provinsi NTT. Hal ini karena pengaturan Provinsi NTT dalam UU tentang Bali, NTB, dan NTT hanya bersifat administratif. UU tentang Bali, NTB, dan NTT tidak memberi kerangka hukum pembangunan Provinsi NTT secara utuh sesuai potensi daerah dan karakteristik sehingga tidak mengakomodasi kebutuhan perkembangan zaman dalam pembangunan Provinsi NTT. Kondisi Provinsi NTT saat ini antara lain masih tingginya kemiskinan, tingkat pendidikan masih kurang, tingkat perekonomian masih rendah, dan banyak permasalahan di wilayah pesisir kepulauan dan perbatasan. Selain itu, potensi daerah belum dimanfaatkan secara optimal padahal Provinsi NTT merupakan wilayah kepulauan yang kaya akan sumber daya kelautan dan perikanan, seharusnya perlu ditingkatkan pemanfaatan, pengelolaan, dan pembangunan sumber daya kelautan terebsut demi meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Provinsi NTT. Potensi daerah yang juga perlu diperhatikan dan dikembangkan lagi yaitu kain tenun, ada kain tenun khas Sumba, khas Rote, khas Timor Tengah Selatan, dan khas Manggarai. Provinsi NTT pun menjadi daya tarik wisatawan domestik maupun mancanegara karena potensi keindahan alam, adat dan kebudayaannya. Wisata alam di Provinsi NTT yang terkenal antara lain Pulau Komodo, Labuan Bajo, Danau Kelimutu, Pantai Batu Biru, dan Air Terjun Oenesu. Selain wisata alam, ada banyak adat dan kebudayaan di NTT yang menjadi kekhasan dan menarik wisatawan seperti ritual adat, atraksi budaya, upacara adat, dll. Pembangunan pariwisata juga harus menjadi perhatian dalam pembangunan Provinsi NTT untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sepatutnya menuntut Provinsi NTT untuk bergerak cepat membangun daerahnya, namun dengan tidak meninggalkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, pengaturan mengenai Provinsi NTT tidak boleh lagi bersifat kaku yang hanya menekankan pada hal-hal yang bersifat administratif saja, melainkan harus diberi ruang untuk dapat mengurus dirinya sendiri sesuai dengan potensi daerah dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Selain berdasarkan uraian tersebut, saat ini RUU tentang Provinsi NTT termasuk dalam Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka yang masuk dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020. Berdasarkan Surat Nomor LG/075/KOM.II/VIII/2020 tertanggal 25 Agustus 2020, Komisi II DPR RI meminta Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun Naskah Akademik dan Draf RUU 12 (dua belas) provinsi, salah satunya yaitu RUU tentang Provinsi NTT. Provinsi tersebut masih diatur dalam satu undang- undang yang mengatur pembentukan beberapa provinsi dan masih berdasarkan UUDS Tahun 1950. UU tentang Bali, NTB, dan NTT tidak hanya mengatur Provinsi NTT saja, namun juga mencakup Provinsi Bali dan Provinsi NTB. Masing-masing provinsi perlu diatur dalam undang-undang yang terpisah. Pengaturan mengenai Provinsi NTT perlu diatur dalam undang- undang tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh Provinsi NTT dan untuk menyesuaikan ketentuan yang terdapat dalam UU tentang Bali, NTB, dan NTT yang berkaitan dengan Provinsi NTT dengan peraturan perundang-undangan lainnya terutama dengan UUD NRI Tahun 1945 dan UU tentang Pemda Tahun 2014 dengan tanpa mengurangi kekhususan Provinsi NTT. Oleh karena itu perlu disusun RUU tentang Provinsi NTT.


Isu :
RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU Mahkamah Konstitusi”) dibentuk untuk menjalankan amanat Pasal 24C ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Selanjutnya undang- undang ini kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU Perubahan Mahkamah Konstitusi”). Dalam perkembangannya, beberapa ketentuan UU Perubahan Mahkamah Konstitusi juga telah diuji dan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam pelaksanaannya, terdapat permasalahan terkait dengan kelembagaan dan hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagai implikasi atas adanya putusan Mahkamah Konstitusi dan kebutuhan hukum masyarakat yang mempengaruhi norma dari UU Mahkamah Konstitusi. Tindak lanjut terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian undang-undang yang perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui adanya dampak terhadap Mahkamah Konstitusi, yakni: a. Putusan MK No.066/PUU-II/2004: Pengujian pasal 50 tentang pengujian undang-undang UU sebelum perubahan UUD 1945. b. Putusan MK No.034/PUU- X/2012: Pasal 7A ayat (1) tentang batas usia pensiun panitera. c. Putusan MK No.7/PUU-XI/2013: Pasal 15 ayat (2) huruf d tentang persyaratan batas usia hakim MK. d. Putusan MK No.93/PUU-XV/2017: tentang pengujian undang- undang di bawah UU yang sedang dilakukan MA bukan wajib dihentikan melainkan ditunda apabila UU yang menjadi dasar pengujian sedang dalam proses pengujian undang-undang di MK, sampai ada putusan MK. e. Putusan MK No.48/PUU-IX/2011: Pengujian Pasal 45A, 57 ayat (2a), yaitu MK diperbolehkan untuk melakukan ultra petita terhadap Putusan MK. f. Putusan MK No.49/PUU-IX/2011: Pengujian Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), ayat (4h), dan Pasal 10, Pasal 15 ayat (2) huruf h sepanjang frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara”, Pasal 26 ayat (5), Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 50A, Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 dibatalkan. Antara lain: tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK, adanya penjelasan pasal yang ada di batang tubuh, persyaratan untuk diangkat Hakim MK, sisa jabatan hakim pengganti, penghapusan kewenangan KY dalam mengawasi hakim MK. g. Putusan MK No.68/PUU-XI/2011: Pengujian Pasal 15 ayat (2): sepanjang frasa “magister” untuk prasyarat menjadi hakim MK dibatalkan. Dengan adanya perkembangan kebutuhan hukum dan menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka perlu dilakukan penyempurnaan dan perubahan terhadap UU Mahkamah Kontitusi. Selain itu, perubahan undang- undang akibat putusan MK merupakan RUU yang masuk dalam daftar kumulatif terbuka, sehingga harus segera ditindaklanjuti dengan melakukan perubahan atau penggantian.


Isu :
Berdasarkan ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan Provinsi Kalimantan Barat masih berdasarkan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1956. Padahal Undang Undang Nomor 25 Tahun 1956 tidak hanya mengatur Provinsi Kalimantan Barat saja, namun juga mencakup Kalimantan Timur. Selain itu, Undang Undang Nomor 25 Tahun 1956 dibentuk di saat kondisi Indonesia masih dalam kondisi darurat, menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950), bentuk negara Indonesia masih berbentuk Republik Indonesia Serikat, dan sistem pemerintahan quasi parlementer. Padahal saat ini, Indonesia sudah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang diamandemen terakhir pada tahun 2002, dengan bentuk negara berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan sistem pemerintahan presidensiil. Tentu saja dengan perbedaan mendasar baik dari segi konstitusi, bentuk negara, sistem pemerintahan, maupun tuntutan perkembangan saat ini, perlu diadakan pembaharuan terhadap undang- undang yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Kalimantan Barat. Selain itu, dari sedikit ulasan kondisi wilayah di atas juga maka perlu suatu kebijakan yang mengelola daerah dengan segala sumber daya yang dimiliki berserta solusinya secara lebih tepat terhadap persoalannya yang dihadapi. Urgensi pembaharuan terhadap undang-undang yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Kalimantan Barat juga sejalan dengan hasil keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tanggal 13 Januari 2020, dimana salah satu hasil keputusan tersebut menyatakan bahwa Komisi II DPR RI akan melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka tentang Pembentukan Provinsi, mengingat dasar hukumnya masih menggunakan UU masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tersebut, menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun naskah akademik dan draf RUU 8 (delapan) provinsi tersebut, berdasarkan Surat Nomor LG/060/KOM.II/VII/2020 tertanggal 7 Juli 2020. Oleh karena itu, terdapat dasar hukum bagi penyusunan Naskah Akademik (NA) dan draf RUU 8 (delapan) provinsi, dimana Provinsi Kalbar merupakan salah satunya. Dalam rangka penyusunan RUU tentang Provinsi Kalimantan Barat, maka penting untuk menyusun Naskah Akademik dan RUU tentang Provinsi Kalimantan Barat.


Isu :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) perlu diganti dengan beberapa alasan yaitu pertama untuk mengatasi permasalahan dan penerapan KUHAP yang terjadi di masyarakat selama ini. Kedua, untuk menyesuaikan norma- norma yang diatur dalam KUHAP dengan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait termasuk dalam hal ini dengan berbagai perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia. Ketiga, untuk menindaklanjuti beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan keberlakuan norma-norma yang diatur dalam KUHAP. Keempat, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hukum acara pidana yang lebih memenuhi rasa keadilan, menjamin kepastian hukum, dan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat. Kelima, KUHAP merupakan hukum pidana formil yaitu hukum pidana yang mengatur tata cara penegakan hukum pidana materiil [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)]. Oleh karena itu, norma-norma yang diatur dalam KUHAP perlu disesuaikan dengan perubahan norma-norma yang diatur dalam KUHP.


Isu :
Sebagaimana kita ketahui bahwa Provinsi Kalimatan Selatan pada saat ini masih menggunakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur). Undang-Undang tersebut lahir pada saat zaman konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Jika kita bandingkan ke kondisi saat ini, dimana konsep saat ini adalah otonomi daerah sebagai perwujudan dari desentralisasi yang kita anut jelas hal ini sudah tidak sejalan. Pada awalnya dahulu, konsep otonomi daerah itu muncul sebagai salah satu pembaharuan pola bernegara pasca reformasi adalah perubahan dari sistim yang sentralistik ke model desentraliasi. Amanat desentralisasi ini tercantum dalam amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) tepatnya di dalam perubahan Pasal 18. Dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut dapat kita ketahui bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap- tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”, dalam hal konteks negara kesatuan pemahaman melihat pasal ini harus dibaca utuh pula dengan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Adapun ketika kita membaca secara utuh Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 kita akan mendapatkan pemahaman bahwa konstitusi secara nyata memberikan kekuasaan pemerintahan negara ini berada di tangan Presiden, beliau lah “nahkoda” utama dalam negara ini, namun kekuasaan yang ada di pusat itu dibagi kepada daerah-daerah untuk bisa mengurus wilayahnya namun dalam bentuk negara kesatuan. Itulah mengapa frasa yang digunakan adalah frasa “dibagi atas” dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bukan justru “terdiri atas”. Frasa “dibagi atas” yang digunakan dalam Pasal 18 ayat (1) memiliki maksud bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang kedaulatan negara berada di tangan Pemerintah (pusat) sesuai Pasal 4 ayat (1). Hal ini jelas dan sangat berbeda bilamana yang dipilih frasa “terdiri atas” yang lebih menunjukkan substansi federalisme karena istilah itu menunjukkan letak kedaulatan berada di tangan negara- negara bagian. Konsep otonomi daerah selalu berubah-ubah dan senantiasa mencari bentuk yang ideal. Konsep yang saat ini terakhir digunakan yakni melalui Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemda). Dalam konsep UU tentang Pemda ini, pandangan mengelola daerah yang sangat berbeda dengan UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur yang merupakan dasar lahirnya provinsi Kalimantan Selatan. Sebagai contoh saja, misalnya dalam Pasal 3 ayat (1) UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur dinyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Kalimantan-Barat, Kalimantan-Selatan dan Kalimantan-Timur masing-masing terdiri dari 30 anggota”. Hal ini jelas tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini dimana dalam Pasal 102 ayat (1) UU tentang Pemda yang mengatur bahwa “Anggota DPRD provinsi berjumlah paling sedikit 35 (tiga puluh lima) orang dan paling banyak 100 (seratus) orang”. Hal ini bahkan lebih tidak sesuai lagi karena perkembangan terbaru ada Pasal 188 ayat (1) UU tentang Pemda yang berbunyi “Jumlah kursi DPRD Provinsi ditetapkan paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan paling banyak 120 (seratur dua puluh)”. Begitu juga contoh lainnya yakni misalnya terkait dengan Pasal 5 pada Bagian II Urusan Kesehatan di UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Pada ayat (1) dinyatakan bahwa “Propinsi mendirikan dan menyelenggarakan rumah-sakit umum dan balai pengobatan umum untuk kepentingan kesehatan dalam lingkungan daerahnya”. Hal ini jelas sudah sangat berbeda dengan paradigm memandang urusan kesehatan yang berdasarkanm Pasal 12 ayat (1) huruf b UU tentang Pemda menempatkan urusan kesehatan pada katagori urusan pemerintahan wajib yang berkaitan denagn pelayanan dasar. Lebih lanjut lagi, dalam UU tentang Pemda juga mempunyai lampiran yang berisi pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Misalnya kita mau mencontohkan satu saja misalnya sumber daya manusia di bidang kesehatan, pemerintah pusat memiliiki peranan untuk penetapan standardisasi dan registrasi tenaga kesehatan Indonesia, tenaga kesehatan warga negara asing (TK-WNA), serta penerbitan rekomendasi pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTTKA) dan izin memperkerjakan tenaga asing (IMTA). Sedangkan provinsi hanya terbatas pada perencanaan dan pengembangan SDM Kesehatan untuk Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) daerah provinsi. Daerah kabupaten/kota beda lagi, mereka punya keweangan untuk penerbitan izin praktik dan izin kerja tenaga kesehatan, dan perencanaan dan pengebangan SDM UKM dan UKP daerah kabupaten/kota. Beberapa contoh diatas, menujukkan bahwa dasar provinsi Kalimantan Selatan dengan UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur sudah tidak layak lagi. Pembentukan RUU tentang Kalsel ini sangat penting karena pengaturan yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Hal ini yang kemudian menjadi urgensi perlu dibentuknya RUU ini, karena memang dasar hukum yang masih belaku hingga saat ini mengusung semangat federalistik yang ada pada jaman RIS. Hal ini juga tentunya sudah sangat tidak cocok lagi dengan konsep otonomi daerah saat ini, sehingga perlu dibentuk RUU tersediri tentang Kalimantan Selatan sebagai solusi dari perkembangan hukum tersebut.


Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, Pembangunan & Kesejahteraan Rakyat

Isu :
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah- Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur merupakan Undang-Undang yang menggantikan Undang- Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Kalimantan. Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan Pasal 89, 131, 132 dan 142 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Republik Indonesia, mengingat perkembangan ketatanegaraan serta keinginan rakyat di Kalimantan dianggap perlu untuk membagi daerah otonom Provinsi Kalimantan sementara dalam tiga bagian, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, masing-masing dalam batas-batas yang ditetapkan dalam undang-undang dan masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai daerah otonom provinsi. Seiring pembangunan/perkembangan hukum nasional, UU tentang Pembentukan Daerah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan ketatanegaraan setelah Indonesia kembali ke UUD NRI Tahun 1945 sejak Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959, terlebih lagi pasca reformasi, karena jiwa dan semangat serta materi muatan UU tentang Pembentukan Daerah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur sudah tidak sejalan dengan amanat UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana beberapa kali diamandemen pada era reformasi, terakhir pada 10 Agustus 2002. Oleh karena itu, melihat dasar hukum sudah out of date (UUDS Tahun 1950 dan UU tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 1957), perlu adanya pengaturan pembaharuan/penyesuaian yang sejalan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.


Isu :
Perubahan dalam UU tentang Pemerintahan Aceh terjadi dikarenakan akibat hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU tentang P3) jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 maka perlu ada tindak lanjut dari Putusan MK ini dalam bentuk perubahan undang-undang. Terdapat 2 (dua) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang amar putusannya mengabulkan permohonan pemohonnya yakni Putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016 dan hingga kini belum kunjung ditindaklanjuti maka perlu ada tindak lanjut dari Putusan MK dalam bentuk perubahan undang-undang. Hal yang diubah dan perlu disesuaikan antara lain terkait dengan syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, antara lain terkait usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dan mantan terpidana yang maju sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.


Isu :
Provinsi Sulawesi Utara dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 7) menjadi Undang-Undang (UU No. 13 Tahun 1964). UU No. 13 Tahun 1964 berlaku sejak tanggal 23 September 1964 dan diberlakukan surut sejak tanggal 1 Januari 1964. UU No. 13 Tahun 1964 sudah berlaku lebih dari 50 (lima puluh) tahun. Mengingat peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum pembentukan UU No. 13 Tahun 1964 banyak yang sudah mengalami perubahan bahkan beberapa di antaranya sudah tidak berlaku lagi maka UU No. 13 Tahun 1964 perlu diubah untuk disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya tersebut. Selanjutnya, UU No. 13 Tahun 1964 terdiri atas 3 (tiga) bab dan 13 (tiga belas) pasal. UU No. 13 Tahun 1964 pada pokoknya mengatur mengenai pembentukan daerah, cakupan wilayah, kepala daerah dan wakil kepala daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong, dan penyerahan aset daerah. Selain diatur dalam UU No. 13 Tahun 1964, kepala daerah dan wakil kepala daerah serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2020 (UU Nomor 1 Tahun 2015) danUndang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 (UU No. 23 Tahun 2014). Mengingat UU No. 13 Tahun 1964 dibentuk lebih dahulu maka materi muatan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 1964 tentu tidak sesuai dengan materi muatan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2015 dan UU No. 23 Tahun 2014. Oleh karena itu, materi muatan UU No. 13 Tahun 1964 perlu diubah untuk disesuaikan dengan materi muatan UU No. 1 Tahun 2015 dan UU No. 23 Tahun 2014. Selain itu, UU No. 13 Tahun 1964 dibentuk sebelum adanya Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011). Oleh karena itu, teknik penyusunan UU No. 13 Tahun 1964 perlu diubah untuk disesuaikan dengan teknik penyusunan undang- undang sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Untuk menyelesaikan permasalahan hukum tersebut maka Komisi II DPR RI berinisiatif untuk membentuk undang-undang yang akan mengubah UU No. 13 Tahun 1964. Salah satu hasil keputusan Rapat Pimpinan Komisi II DPR RI tanggal 24 Agustus 2020 adalah bahwa Komisi II DPR RI akan melakukan pembahasan rancangan undang-undang kumulatif terbuka tentang perubahan undang-undang pembentukan provinsi. Salah satu undang-undang pembentukan provinsi yang akan diubah adalah UU No. 13 Tahun 1964. Hal ini mengingat UU No. 13 Tahun 1964 masih mengatur mengenai 4 (empat) provinsi yakni, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Provinsi Sulawesi Selatan dalam satu undang-undang. Berdasarkan Surat Nomor LG/075/KOM.IIVIII/2020 tanggal 25 Agustus 2020, Komisi II DPR RI meminta Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI untuk menyusun Naskah Akademik dan Draft RUU Provinsi Sulawesi Utara.


Isu :
Dalam peribahasa hukum het recht hinkt achter de faiten aan yang memiliki arti bahwa hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar perubahan zaman menujukkan bahwa pada hakikatnya hukum seharusnya mengikuti perkembangan zaman yang ada dan bukan justru sebaliknya. Hal ini dikarenakan hukum terbentuk dalam moment opname yakni momentum realitas yang tertangkap saat itu (Sidin, 2020), sehingga ketika zaman berubah maka penyesuaian perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan baik secara vertikal dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku secara horizontal. peribahasa hukum atau adagium hukum yang berlaku secara universal itu pula yang juga dialami oleh Provinsi Jambi yang hingga saat ini masih menggunakan dasar hukum UU No. 61 Tahun 1958 tentang penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau (UU No. 61 Tahun 1958) sebagai dasar pembentukannya. Pada tahun 1950, Pemerintah Republik Indonesia (Yogyakarta) menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950. Pemerintah telah membentuk Provinsi Sumatera Tengah, yang meliputi daerah-daerah administratif keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah. Seiring perkembangan baru yang terjadi dalam masyarakat, sudah tidak sesuai lagi dengan daerah-daerah yang diliputinya. Rakyat dari daerah- daerah keresidenan Jambi dan Riau pada saat itu telah mengajukan tuntutan- tuntutan dalam bentuk mosi, resolusi, dan pernyataan-pernyataan lain. Tuntutan-tuntutan ini disertai beberapa alasan tentang ketidakpuasan dari rakyat, antara lain: 1. Sulit dan jauhnya perhubungan antara ibukota-ibukota Kabupaten- kabupaten dalam keresidenan Jambi dan Riau dan ibukota Provinsi; 2. Karena sulitnya hubungan daerah-daerah yang jauh letaknya dari ibukota Provinsi ini tidak mendapatkan layanan selayaknya dari Pemerintah Provinsi; 3. Berhubung dengan itu daerah-daerah yang bersangkutan ingin berhubungan langsung dengan pemerintah pusat. Setelah Pemerintah mempelajari bahan-bahan yang diajukan dan meneliti faktor-faktor politis, sosial-ekonomis, geografis, dan lain sebagainya, maka Pemerintah berpendapat bahwa apabila tiga daerah administratif Keresidenan Sumatera Barat, Jambi, dan Riau yang mana merupakan wilayah Provinsi Sumatera Tengah lama dapat dibentuk menjadi daerah tingkat I sehingga Pemerintah mengambil kesimpulan, bahwa telah dibentuk daerah tingkat I Sumatera Barat, daerah tingkat I Jambi, dan daerah tingkat I Riau. Oleh karena itu, Pemerintah berdasarkan Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara menetapkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau. Kemudian, disahkan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau (UU No. 61 Tahun 1958). UU No. 61 Tahun 1958 terdiri dari 6 BAB dan 14 Pasal. Dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 61 Tahun 1958 mengatur pembubaran daerah swatantra tingkat I Sumatera Tengah dan pembentukan tiga daerah swatantra tingkat I dengan nama dan batas-batas sebagai berikut: 1) Daerah swatantra Tingkat I Sumatera Barat, meliputi: Agam; Padang/Pariaman; Solok; Pasaman; Sawahlunto/Sijunjung; Limapuluh Kota; Pesisir Selatan/Kerinci; Tanah Datar, Bukittinggi; Padang; Sawahlunto; Padang Panjang; Solok; dan Payakumbuh. 2) Daerah Swatantra Tingkat I Jambi, meliputi: Batanghari; Merangin, dan wilayah kecamatan: Kerinci Hulu, Kerinci Tengah, Kerinci Hilir, dan Kotapraja Jambi. 3) Daerah Swatantra Tingkat I Riau, meliputi: Bengkalis; Kampar; Inderagiri; Kepulauan Riau; dan Kotapraja Pekanbaru. Pemerintah Daerah Swatantra Tingkat I Riau berkedudukan di Tanjung Pinang, Daerah Swatantra Tingkat I Jambi di Jambi, dan Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat di Bukittinggi. Namun dalam perkembangan keadaan daerah menghendakinya, maka tempat kedudukan pemerintah daerah dapat dipindahkan ke lain tempat dalam wilayah daerahnya (Pasal 2 UU No. 61 Tahun 1958). Kewenangan daerah swatantra diatur dalam BAB II meliputi: urusan tata usaha daerah; hak menguasai benda-benda tambang; penangkapan ikan di pantai; izin yang menimbulkan gangguan; pembuatan sumur bor; dan hal penguburan mayat. Kemudian, dalam BAB III mengatur tentang Hal-hal yang berkaitan dengan penyerahan, kekuasaan, campur tangan dan pekerjaan- pekerjaan yang diserahkan kepada daerah. BAB IV berisi ketentuan yang mengatur keuangan daerah. Selanjutnya BAB V memuat Ketentuan Peralihan yang masih berlaku, yang dapat dicabut, ditambah, atau diubah oleh masing- masing daerah. Secara horizontal UU No. 61 Tahun 1958 sudah tidak sinkron dengan UU No. 23 tahun 2014 yang sudah mengatur pembagian kewenangan/ pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah (desentralisasi simetris) dan hak dan kewajiban pemrintahan daerah dalam mengatur daerahnya (otonomi) yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan secara vertikal UU No. 61 Tahun 1958 tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang didasarkan pada undang-undang dasar hasil amandemen yaitu Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur prinsip- prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah diantaranya yaitu: 1) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2)). 2) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat (4)). 3) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang- undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5)). 4) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (6)). 5) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang- undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1)). 6) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang (Pasal 18A ayat (2)). Adapun kepentingan DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk membaharui undang- undang yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Jambi juga sejalan dengan hasil keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tanggal 13 Januari 2020, dimana salah satu hasil keputusan tersebut menyatakan bahwa Komisi II DPR RI akan melakukan pembahasan Rancangan Undang- Undang Kumulatif Terbuka tentang Pembentukan Provinsi, mengingat dasar hukumnya masih menggunakan UU Republik Indonesia Serikat, dimana dalam satu undang-undang masih terdapat penggabungan provinsi, yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958 tentang Provinsi Kalimatan Barat, Kalimatan Selatan, dan Kalimatan Tengah; 2) Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Provinsi Sumaera Barat, Provinsi Jambi, dan Provinsi Riau; dan 3) Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Provinsi Bali, Provinsi NTB, dan Provinsi NTT. Berdasarkan penelahaan hal-hal tersebut diatas dan untuk membantu tugas konstitusional dewan dibidang legislasi, Komisi II DPR RI bermaksud mengusulkan pembentukan UU tentang Provinsi Jambi dengan menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk melakukan penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Jambi. RUU tentang Provinsi Jambi ini masuk dalam Daftar Kumulatif Terbuka Prioritas Program Legislasi Nasional Tahun 2020. Surat Nomor LG/060/KOM.II/VII/2020 tertanggal 7 Juli 2020 menjadi dasar administratif penyusunan UU provinsi Jambi.


Isu :
Pembentukan daerah otonom pada dasarnya merupakan bentuk pengakuan dan pemberian hak oleh negara kepada suatu kelompok masyarakat (locality) untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibentuklah pemerintahan daerah yang menurut Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 diatur dengan undang-undang. Kondisi riil pengaturan Provinsi Sumatera Barat sebagai sebuah daerah otonom, masih menggunakan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau" (Lembaran-Negara Tahun 1957 No. 75). Pembentukan undang-undang ini, masih didasarkan pada Undang- Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS Tahun 1950) dan dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Demikian pula dengan pola otonomi daerahnya yang masih berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957). UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957 sudah tidak berlaku lagi dan telah beberapa kali diganti, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga sudah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Perubahan peraturan tersebut menyebabkan pengaturan mengenai Provinsi Sumatera Barat tidak lagi sejalan dengan pengaturan mengenai pemerintahan daerah karena telah terjadi perubahan paradigma pelaksanaan otonomi daerah, salah satunya adalah dengan dikenalnya prinsip otonomi seluas-luasnya. Prinsip otonomi seluas-luasnya, memberikan kesempatan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri daerahnya sesuai dengan kearifan, inovasi, daya saing, kreatifitas daerah, nilai dan tata kelola kehidupan bersama yang diyakini oleh masyarakat di daerahnya. Hal ini memungkinkan pengaturan antara daerah otonom yang satu, berbeda dengan daerah otonom lainnya. Melalui hal tersebut, diharapkan usaha untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai lebih cepat. Berdasarkan hal itulah, diperlukan penyesuaian pengaturan mengenai Provinsi Sumatera Barat. Penyusunan Naskah Akademik dan Draf Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Sumatera Barat dilakukan sesuai dengan penugasan dari Komisi II DPR RI melalui Surat Nomor LG/060/KOM.II/VII/2020 tertanggal 7 Juli 2020 dan Surat Nomor LG/075/KOM.II/VIII/2020 tanggal 25 Agustus 2020, yang menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun Naskah Akademik dan Draf RUU 12 (dua belas) provinsi, yang salah satunya adalah RUU tentang Provinsi Sumatera Barat.


Isu :
Filosofi dibentuknya daerah otonom yaitu sebagai bentuk pengakuan dan pemberian hak oleh negara kepada suatu kelompok masyarakat (locality) untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri terhadap urusan tertentu. Hal ini karena pembentukan daerah otonom tersebut merupakan pemberian hak kepada sekelompok masyarakat untuk mengelola sendiri kehidupan bersamanya yang dapat berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya dalam suatu negara, maka penetapan dan pembentukan daerah otonom tersebut memerlukan kesepakatan antar warga negara, sehingga penetapan dan pembentukannya harus dilakukan dan disepakati oleh rakyat negara melalui perwakilannya di parlemen, karena itulah pembentukan daerah otonom pada umumnya ditetapkan dengan undang-undang yang dibuat oleh lembaga perwakilan rakyat. Di Indonesia, hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya pada saat pemerintahan negara membentuk suatu daerah otonom, maka pada saat itu pula ditentukan batas wilayahnya, urusan bersama (urusan pemerintahan) yang diserahkan untuk dikelola sendiri, sumber pendapatan yang diserahkan, dan aspek pengelolaan pemerintahan lainnya. Dengan demikian, desain pengaturan mengenai daerah otonom seharusnya tidak terbatas pada pengaturan yang bersifat administratif saja, melainkan juga membuka ruang bagi tiap daerah untuk mengurus daerahnya sesuai dengan nilai yang diyakini oleh masyarakatnya dan juga mengurus daerahnya sesuai dengan potensi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan daerahnya. Sebagai sebuah daerah otonom, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) belum diatur dengan undang-undang tersendiri sebagaimana ditegaskan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dasar hukum pembentukan Provinsi NTT saat ini masih berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (UU tentang Bali, NTB, dan NTT). Selanjutnya ditetapkan pula Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah- daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. UU tentang Bali, NTB, dan NTT dibentuk pada saat negara Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) serta berdasarkan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS Tahun 1950) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957). Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUDS Tahun 1950 menjadi tidak berlaku dan berlaku kembali UUD NRI Tahun 1945. Demikian pula UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957 sudah tidak berlaku lagi dan telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemda Tahun 1999), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemda Tahun 2014) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dengan demikian dasar hukum pembentukan UU tentang Bali, NTB, dan NTT sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saat ini. UU tentang Bali, NTB, dan NTT terkait dengan konsep otonomi daerah, mengacu pada sistem otonomi riil/nyata (Penjelasan umum UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957) karena saat itu pula belum mengenal konsep otonomi daerah, apalagi otonomi luas yang baru muncul sejak berlakunya UU tentang Pemda Tahun 1999. Saat ini Indonesia sudah dalam bentuk NKRI dengan konstitusi UUD NRI Tahun 1945, sistem pemerintahan presidensiil serta urusan pemerintahan daerah dan otonomi daerah mengacu pada UU tentang Pemda Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Selain itu ada pula hal yang tidak sejalan dengan konsep otonomi daerah pada saat ini, misal dari segi judul UU tentang Bali, NTB, dan NTT masih menggunakan nomenklatur Daerah Tingkat I, padahal sejak diberlakukannya UU tentang Pemda Tahun 1999 nomenklatur tersebut sudah tidak digunakan lagi dan diganti dengan istilah Provinsi. Hal ini sesuai dengan kondisi saat ini yang telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi dan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. UU tentang Bali, NTB, dan NTT telah berlaku lebih dari 60 (enam puluh) tahun. Akan tetapi, UU tentang Bali, NTB, dan NTT belum dapat menyelesaikan sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh Provinsi NTT. Hal ini karena pengaturan Provinsi NTT dalam UU tentang Bali, NTB, dan NTT hanya bersifat administratif. UU tentang Bali, NTB, dan NTT tidak memberi kerangka hukum pembangunan Provinsi NTT secara utuh sesuai potensi daerah dan karakteristik sehingga tidak mengakomodasi kebutuhan perkembangan zaman dalam pembangunan Provinsi NTT. Kondisi Provinsi NTT saat ini antara lain masih tingginya kemiskinan, tingkat pendidikan masih kurang, tingkat perekonomian masih rendah, dan banyak permasalahan di wilayah pesisir kepulauan dan perbatasan. Selain itu, potensi daerah belum dimanfaatkan secara optimal padahal Provinsi NTT merupakan wilayah kepulauan yang kaya akan sumber daya kelautan dan perikanan, seharusnya perlu ditingkatkan pemanfaatan, pengelolaan, dan pembangunan sumber daya kelautan terebsut demi meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Provinsi NTT. Potensi daerah yang juga perlu diperhatikan dan dikembangkan lagi yaitu kain tenun, ada kain tenun khas Sumba, khas Rote, khas Timor Tengah Selatan, dan khas Manggarai. Provinsi NTT pun menjadi daya tarik wisatawan domestik maupun mancanegara karena potensi keindahan alam, adat dan kebudayaannya. Wisata alam di Provinsi NTT yang terkenal antara lain Pulau Komodo, Labuan Bajo, Danau Kelimutu, Pantai Batu Biru, dan Air Terjun Oenesu. Selain wisata alam, ada banyak adat dan kebudayaan di NTT yang menjadi kekhasan dan menarik wisatawan seperti ritual adat, atraksi budaya, upacara adat, dll. Pembangunan pariwisata juga harus menjadi perhatian dalam pembangunan Provinsi NTT untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sepatutnya menuntut Provinsi NTT untuk bergerak cepat membangun daerahnya, namun dengan tidak meninggalkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, pengaturan mengenai Provinsi NTT tidak boleh lagi bersifat kaku yang hanya menekankan pada hal-hal yang bersifat administratif saja, melainkan harus diberi ruang untuk dapat mengurus dirinya sendiri sesuai dengan potensi daerah dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Selain berdasarkan uraian tersebut, saat ini RUU tentang Provinsi NTT termasuk dalam Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka yang masuk dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020. Berdasarkan Surat Nomor LG/075/KOM.II/VIII/2020 tertanggal 25 Agustus 2020, Komisi II DPR RI meminta Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun Naskah Akademik dan Draf RUU 12 (dua belas) provinsi, salah satunya yaitu RUU tentang Provinsi NTT. Provinsi tersebut masih diatur dalam satu undang- undang yang mengatur pembentukan beberapa provinsi dan masih berdasarkan UUDS Tahun 1950. UU tentang Bali, NTB, dan NTT tidak hanya mengatur Provinsi NTT saja, namun juga mencakup Provinsi Bali dan Provinsi NTB. Masing-masing provinsi perlu diatur dalam undang-undang yang terpisah. Pengaturan mengenai Provinsi NTT perlu diatur dalam undang- undang tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh Provinsi NTT dan untuk menyesuaikan ketentuan yang terdapat dalam UU tentang Bali, NTB, dan NTT yang berkaitan dengan Provinsi NTT dengan peraturan perundang-undangan lainnya terutama dengan UUD NRI Tahun 1945 dan UU tentang Pemda Tahun 2014 dengan tanpa mengurangi kekhususan Provinsi NTT. Oleh karena itu perlu disusun RUU tentang Provinsi NTT.


Isu :
RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU Mahkamah Konstitusi”) dibentuk untuk menjalankan amanat Pasal 24C ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Selanjutnya undang- undang ini kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU Perubahan Mahkamah Konstitusi”). Dalam perkembangannya, beberapa ketentuan UU Perubahan Mahkamah Konstitusi juga telah diuji dan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam pelaksanaannya, terdapat permasalahan terkait dengan kelembagaan dan hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagai implikasi atas adanya putusan Mahkamah Konstitusi dan kebutuhan hukum masyarakat yang mempengaruhi norma dari UU Mahkamah Konstitusi. Tindak lanjut terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian undang-undang yang perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui adanya dampak terhadap Mahkamah Konstitusi, yakni: a. Putusan MK No.066/PUU-II/2004: Pengujian pasal 50 tentang pengujian undang-undang UU sebelum perubahan UUD 1945. b. Putusan MK No.034/PUU- X/2012: Pasal 7A ayat (1) tentang batas usia pensiun panitera. c. Putusan MK No.7/PUU-XI/2013: Pasal 15 ayat (2) huruf d tentang persyaratan batas usia hakim MK. d. Putusan MK No.93/PUU-XV/2017: tentang pengujian undang- undang di bawah UU yang sedang dilakukan MA bukan wajib dihentikan melainkan ditunda apabila UU yang menjadi dasar pengujian sedang dalam proses pengujian undang-undang di MK, sampai ada putusan MK. e. Putusan MK No.48/PUU-IX/2011: Pengujian Pasal 45A, 57 ayat (2a), yaitu MK diperbolehkan untuk melakukan ultra petita terhadap Putusan MK. f. Putusan MK No.49/PUU-IX/2011: Pengujian Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), ayat (4h), dan Pasal 10, Pasal 15 ayat (2) huruf h sepanjang frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara”, Pasal 26 ayat (5), Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 50A, Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 dibatalkan. Antara lain: tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK, adanya penjelasan pasal yang ada di batang tubuh, persyaratan untuk diangkat Hakim MK, sisa jabatan hakim pengganti, penghapusan kewenangan KY dalam mengawasi hakim MK. g. Putusan MK No.68/PUU-XI/2011: Pengujian Pasal 15 ayat (2): sepanjang frasa “magister” untuk prasyarat menjadi hakim MK dibatalkan. Dengan adanya perkembangan kebutuhan hukum dan menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka perlu dilakukan penyempurnaan dan perubahan terhadap UU Mahkamah Kontitusi. Selain itu, perubahan undang- undang akibat putusan MK merupakan RUU yang masuk dalam daftar kumulatif terbuka, sehingga harus segera ditindaklanjuti dengan melakukan perubahan atau penggantian.


Isu :
Berdasarkan ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan Provinsi Kalimantan Barat masih berdasarkan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1956. Padahal Undang Undang Nomor 25 Tahun 1956 tidak hanya mengatur Provinsi Kalimantan Barat saja, namun juga mencakup Kalimantan Timur. Selain itu, Undang Undang Nomor 25 Tahun 1956 dibentuk di saat kondisi Indonesia masih dalam kondisi darurat, menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950), bentuk negara Indonesia masih berbentuk Republik Indonesia Serikat, dan sistem pemerintahan quasi parlementer. Padahal saat ini, Indonesia sudah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang diamandemen terakhir pada tahun 2002, dengan bentuk negara berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan sistem pemerintahan presidensiil. Tentu saja dengan perbedaan mendasar baik dari segi konstitusi, bentuk negara, sistem pemerintahan, maupun tuntutan perkembangan saat ini, perlu diadakan pembaharuan terhadap undang- undang yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Kalimantan Barat. Selain itu, dari sedikit ulasan kondisi wilayah di atas juga maka perlu suatu kebijakan yang mengelola daerah dengan segala sumber daya yang dimiliki berserta solusinya secara lebih tepat terhadap persoalannya yang dihadapi. Urgensi pembaharuan terhadap undang-undang yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Kalimantan Barat juga sejalan dengan hasil keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tanggal 13 Januari 2020, dimana salah satu hasil keputusan tersebut menyatakan bahwa Komisi II DPR RI akan melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka tentang Pembentukan Provinsi, mengingat dasar hukumnya masih menggunakan UU masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada keputusan rapat internal Komisi II DPR RI tersebut, menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun naskah akademik dan draf RUU 8 (delapan) provinsi tersebut, berdasarkan Surat Nomor LG/060/KOM.II/VII/2020 tertanggal 7 Juli 2020. Oleh karena itu, terdapat dasar hukum bagi penyusunan Naskah Akademik (NA) dan draf RUU 8 (delapan) provinsi, dimana Provinsi Kalbar merupakan salah satunya. Dalam rangka penyusunan RUU tentang Provinsi Kalimantan Barat, maka penting untuk menyusun Naskah Akademik dan RUU tentang Provinsi Kalimantan Barat.


Isu :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) perlu diganti dengan beberapa alasan yaitu pertama untuk mengatasi permasalahan dan penerapan KUHAP yang terjadi di masyarakat selama ini. Kedua, untuk menyesuaikan norma- norma yang diatur dalam KUHAP dengan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait termasuk dalam hal ini dengan berbagai perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia. Ketiga, untuk menindaklanjuti beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan keberlakuan norma-norma yang diatur dalam KUHAP. Keempat, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hukum acara pidana yang lebih memenuhi rasa keadilan, menjamin kepastian hukum, dan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat. Kelima, KUHAP merupakan hukum pidana formil yaitu hukum pidana yang mengatur tata cara penegakan hukum pidana materiil [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)]. Oleh karena itu, norma-norma yang diatur dalam KUHAP perlu disesuaikan dengan perubahan norma-norma yang diatur dalam KUHP.


Isu :
Sebagaimana kita ketahui bahwa Provinsi Kalimatan Selatan pada saat ini masih menggunakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur). Undang-Undang tersebut lahir pada saat zaman konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Jika kita bandingkan ke kondisi saat ini, dimana konsep saat ini adalah otonomi daerah sebagai perwujudan dari desentralisasi yang kita anut jelas hal ini sudah tidak sejalan. Pada awalnya dahulu, konsep otonomi daerah itu muncul sebagai salah satu pembaharuan pola bernegara pasca reformasi adalah perubahan dari sistim yang sentralistik ke model desentraliasi. Amanat desentralisasi ini tercantum dalam amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) tepatnya di dalam perubahan Pasal 18. Dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut dapat kita ketahui bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap- tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”, dalam hal konteks negara kesatuan pemahaman melihat pasal ini harus dibaca utuh pula dengan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Adapun ketika kita membaca secara utuh Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 kita akan mendapatkan pemahaman bahwa konstitusi secara nyata memberikan kekuasaan pemerintahan negara ini berada di tangan Presiden, beliau lah “nahkoda” utama dalam negara ini, namun kekuasaan yang ada di pusat itu dibagi kepada daerah-daerah untuk bisa mengurus wilayahnya namun dalam bentuk negara kesatuan. Itulah mengapa frasa yang digunakan adalah frasa “dibagi atas” dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bukan justru “terdiri atas”. Frasa “dibagi atas” yang digunakan dalam Pasal 18 ayat (1) memiliki maksud bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang kedaulatan negara berada di tangan Pemerintah (pusat) sesuai Pasal 4 ayat (1). Hal ini jelas dan sangat berbeda bilamana yang dipilih frasa “terdiri atas” yang lebih menunjukkan substansi federalisme karena istilah itu menunjukkan letak kedaulatan berada di tangan negara- negara bagian. Konsep otonomi daerah selalu berubah-ubah dan senantiasa mencari bentuk yang ideal. Konsep yang saat ini terakhir digunakan yakni melalui Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemda). Dalam konsep UU tentang Pemda ini, pandangan mengelola daerah yang sangat berbeda dengan UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur yang merupakan dasar lahirnya provinsi Kalimantan Selatan. Sebagai contoh saja, misalnya dalam Pasal 3 ayat (1) UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur dinyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Kalimantan-Barat, Kalimantan-Selatan dan Kalimantan-Timur masing-masing terdiri dari 30 anggota”. Hal ini jelas tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini dimana dalam Pasal 102 ayat (1) UU tentang Pemda yang mengatur bahwa “Anggota DPRD provinsi berjumlah paling sedikit 35 (tiga puluh lima) orang dan paling banyak 100 (seratus) orang”. Hal ini bahkan lebih tidak sesuai lagi karena perkembangan terbaru ada Pasal 188 ayat (1) UU tentang Pemda yang berbunyi “Jumlah kursi DPRD Provinsi ditetapkan paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan paling banyak 120 (seratur dua puluh)”. Begitu juga contoh lainnya yakni misalnya terkait dengan Pasal 5 pada Bagian II Urusan Kesehatan di UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Pada ayat (1) dinyatakan bahwa “Propinsi mendirikan dan menyelenggarakan rumah-sakit umum dan balai pengobatan umum untuk kepentingan kesehatan dalam lingkungan daerahnya”. Hal ini jelas sudah sangat berbeda dengan paradigm memandang urusan kesehatan yang berdasarkanm Pasal 12 ayat (1) huruf b UU tentang Pemda menempatkan urusan kesehatan pada katagori urusan pemerintahan wajib yang berkaitan denagn pelayanan dasar. Lebih lanjut lagi, dalam UU tentang Pemda juga mempunyai lampiran yang berisi pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Misalnya kita mau mencontohkan satu saja misalnya sumber daya manusia di bidang kesehatan, pemerintah pusat memiliiki peranan untuk penetapan standardisasi dan registrasi tenaga kesehatan Indonesia, tenaga kesehatan warga negara asing (TK-WNA), serta penerbitan rekomendasi pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTTKA) dan izin memperkerjakan tenaga asing (IMTA). Sedangkan provinsi hanya terbatas pada perencanaan dan pengembangan SDM Kesehatan untuk Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) daerah provinsi. Daerah kabupaten/kota beda lagi, mereka punya keweangan untuk penerbitan izin praktik dan izin kerja tenaga kesehatan, dan perencanaan dan pengebangan SDM UKM dan UKP daerah kabupaten/kota. Beberapa contoh diatas, menujukkan bahwa dasar provinsi Kalimantan Selatan dengan UU tentang Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur sudah tidak layak lagi. Pembentukan RUU tentang Kalsel ini sangat penting karena pengaturan yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Hal ini yang kemudian menjadi urgensi perlu dibentuknya RUU ini, karena memang dasar hukum yang masih belaku hingga saat ini mengusung semangat federalistik yang ada pada jaman RIS. Hal ini juga tentunya sudah sangat tidak cocok lagi dengan konsep otonomi daerah saat ini, sehingga perlu dibentuk RUU tersediri tentang Kalimantan Selatan sebagai solusi dari perkembangan hukum tersebut.


support_agent
phone
mail_outline
chat