Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) sebagai norma hukum tertinggi telah menggariskan bahwa: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
Anak dalam konteks hukum pidana, dapat menduduki subjek hukum, sebagai pelaku (offenders) maupun sebagai korban (victim). Pembicaraan posisi anak yang demikian itu berdampak pada implikasi pendekatan penal yang berbeda. Anak sebagai pelaku memerlukan pendekatan hukum pidana dalam posisinya yang demikian dan baginya diperlakukan Sistem Peradilan Pidana Anak. Sementara kedudukan anak sebagai korban dalam konteks pembicaraan hukum pidana akan merambah dalam pembicaraan hukum anak (hukum perlindungan anak) dan hukum pidana orang dewasa, hukum pidana yang mengatur perilaku orang dewasa yang melukai hak-hak anak di masyarakat. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mengatur bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahapan penyelidikan sampai dengan tahapan pembimbingan setelah menjalani pidana. UU SPPA pernah dilakukan pengujian di Mahkamah Konsitusi, dimana terdapat 2 (dua) putusan yang telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu Putusan Perkara Nomor 110/PUU-X/2012 dan Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XV/2017. Dengan dikabulkannya permohonan pengujian terhadap beberapa pasal/ayat dalam UU SPPA tersebut, berdampak terhadap substansi dalam UU SPPA
Constitutional Update Juni 2025 - 2025-06-30
Constitutional Update Juni 2025
-
Constitusional Update Mei 2025 - 2025-05-30
Constitusional Update Mei 2025
-
Constitutional Update April 2025 - 2025-04-30
Constitutional Update April 2025
-
Constitutional Update Maret 2025 - 2025-03-31
Constitutional Update Maret 2025
-
Constitutional Update Februari 2025 - 2025-02-28
Constitutional Update Februari 2025
-
Constitutional Update Januari 2025 - 2025-01-31
Constitutional Update Januari 2025
-